“Nar,” Dantya masuk, pasrah melihat kakaknya masih bercokol di satu bagian kamar yang sama. Masih di cerukan jendela kamar yang sama seperti yang ada di kamarnya. Masih dengan pakaian kemarin, dengan jatah sarapan yang belum tersentuh sama sekali, “Nar,” ia mendekat, menepuk pundak Nara. “Pergi lo.” “Nar…” “Pergi lo.” Dantya diam, tangannya ia tarik. Tepat dua minggu sudah lewat sejak sahabatnya Dira meninggal akibat penyakit jantung. Sahabat garis miring gadis yang kakak kembarnya cintai. Dantya masih ingat dengan jelas saat itu, ia di rumah tengah beristirahat tenang ketika telepon rumah berbunyi, Nara menelepon dengan suara kalut, sedang di rumah sakit menemani Dira yang mendadak kolaps saat ia lengah sedikit, tengah membelikan Dira minuman di Senopati. Dantya yang sudah bersiap menerima kabar seperti itu, segera menyusul kakaknya, dan memeluk yang bersangkutan. Ia masih ingat jelas, sosok Nara saat itu. Kalut, gemetar, lemas, pucat. Seperti yang lebih sakit