Skip to main content

I Hate You

Tentang tiga hal yang ia yakini diam-diam:


Ia sayang Kazuhiko

Reichi Shibasaki ternyata tampan.

Ia terancam jatuh cinta kepadanya.


“Apa ini, Araide-chan? Kau punya pengagum rahasia?”

Secarik kertas segera berpindah dari tangan Kazusa Araide, terampas oleh sosok lelaki muda yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Gadis itu merengut, melempar pandang ‘kenapa-ganggu-kalau-tidak-diganggu’ pada lelaki bermarga Shibasaki tersebut, menarik napas panjang, “Ngapain sih kau ganggu-ganggu aku? Kurang kerjaan sekali. Kemarikan suratnya! Jangan sok ingin ikut campur urusan orang lain deh! Sana urusi pacar-pacarmu saja!” ujarnya ketus sambil kembali mengambil kertas berisi surat miliknya tersebut, tepat ketika sosok Reichi Shibasaki mengernyit.

“Kau surat-suratan dengan Kazuki Itou?”

“Memangnya kenapa? Tidak boleh?” ia mengangkat alis menantang, melipat suratnya yang kembali ia masukkan ke kantung hakamanya di sisi yang berlawanan dengan tempat Shibasaki, “Mau tahu banget sih…” gumamnya pelan, kembali menyendok nasi karenya. Sosok Shibasaki di sampingnya mengangkat alis, “Apa tadi katamu?”

“Bukan apa-apa,” sahutnya ketus, melirik nampan berisi makanan yang dibawa pemuda itu kini tergeletak di hadapannya, “Ngapain kau makan disini, hah? Kantin luas, tempat duduk masih banyak,” matanya mengedik pada beberapa meja yang masih kosong melompong. Oh well, lima belas menit saja belum lewat sejak bel istirahat siang berbunyi. Ia memperkirakan masih banyak orang yang terjebak di kelasnya.

“Kau keberatan?”

“Jelas! Sana pergi makan dengan gadis-gadis lain! Calon-calon mangsamu kan banyak.”

Reichi mengangkat alis, “Sayangnya, aku maunya disini. Punya hak apa kau melarangku duduk disini, hm?”

Kazusa membuka mulut hendak mendebat balik sebelum kembali terkatup rapat, menghela napas lalu melanjutkan makan sambil cemberut. Melihat perbedaan reaksi yang sangat jarang didapatnya dari gadis Bara di depannya, Reichi (entah untuk yang keberapa kali), mengangkat alis, “Laper banget, ya?”

Diam.

“Araide-chan,”

Lagi-lagi diam.

“Heh, bawel!”

Dan Kazusa Araide tetap tak bergeming, terus melanjutkan makannya seperti Reichi tak ada di depannya. Mendengus, laki-laki itu menatapnya sejenak, lalu mengikuti teladan gadis di depannya : memakan makanannya.

Keheningan yang menyusul diantara mereka (hanya diisi oleh celoteh ramai anak-anak yang mulai memasuki kantin) pecah suara denting sendok dengan garpu yang frekuensinya mulai kelewat sering dari Araide perempuan di depannya. Ia mengangkat alis (lagi), menyadari kecepatan makan Kazusa yang sedikit diatas normal. Makanannya sendiri saja masih setengah saat porsi nasi kare gadis itu tinggal seperlima porsi aslinya.

Menyendok sisa-sisa nasi dan kare terakhir di piringnya, Kazusa segera meraih gelas hijau pekat di sampingnya, tak sadar akan asap mengebul dan fakta bahwa yang tadi dipesannya sebagai minum adalah ocha panas.

“ADAUW!”

Gelas tersebut berdentang keras ketika dijatuhkan oleh pemiliknya, ocha panas di dalamnya tumpah ruah membasahi bagian paha gadis yang kini merintih kesakitan akibat panas yang dirasakannya. Sosok Reichi di depannya melirik kalem, melanjutkan menghabiskan porsi makanannya sendiri yang tinggal sesendok, “Buru-buru sih. Punya mata dipakai makanya,” ucapnya santai sambil berdiri, menghabiskan minumannya sendiri sebelum pergi.

Menggeram kesal, Kazusa ikut bangkit, membereskan sisa makanannya dengan dengus kesal, terburu-buru ingin segera pergi dari hadapan si playboy cap kelinci tersebut. Lagi-lagi, melupakan fakta bahwa di lantai yang tengah diinjaknya tergenang air bekas ochanya yang tumpah dengan potensi menjatuhkan mereka yang kurang hati-hati dalam melangkah.

“Aku tak butuh nasihat—HUWAAAA!”

Kali ini, sosoknya limbung ke depan, nyaris menyentuh lantai dengan bunyi keras yang dijamin akan menyebabkan memar ungu besar di jidatnya—kalau tidak ditahan oleh tangan besar di pinggangnya.

Firasatnya buruk. Sangat buruk.

“Sudah dibilang, pakai matamu yang benar, juga.”

Benar kan. Sialsialsialsial.

“Kau hutang satu lagi padaku, Araide-chan,” Reichi mengucap kalem sambil melepas pegangannya pada pinggang gadis itu sambil melenggang pergi, meninggalkan Kazusa yang bengong sesaat sebelum merasakan wajahnya memanas, setengah mendesah dan menghela napas kesal. Ia menampar-nampar pipinya keras, menggumamkan rentetan omelan pelan sambil mengikuti langkah Reichi keluar dari kantin.

Sebal. Tepat karena alasan inilah Kazusa membenci Reichi Shibasaki.


Based on Kodel's fanfiction, Nobody Knows. Iseng-iseng berhadiah /dor
Ryokubita (c) Kak Ndhez, Kazusa Araide (c) me, Reichi Shibasaki (c) Kodel, dan Kazuki Itou (c) Kal.


Semua yang ada disini adalah fiksi yang fiksi. Tidak ada dalam plot karakter manapun yang tercantum diatas.

Comments

Popular posts from this blog

BYNNWYMM #3

Ukh. Ia gengsi sebenarnya kalau mau balik lagi. Tapi ia juga malas harus melanjutkan perjalanan dan benar-benar mendekati si surfer lokal (kulitnya terlalu hitam, euh ). Maka ia hanya berdiri diam di tengah jarak keduanya, lalu memutuskan untuk duduk dan menatap laut dalam diam. Hampa. Sebal. Kenapa Dims tidak bisa mengerti sih? Ini kan bukan untuk yang pertama kalinya ia bertingkah seperti itu. Ini terjadi nyaris setiap bulan, malah. Ia harusnya sudah tahu, meski Adrianna marah-marah seperti apapun juga, pada dasarnya ia tetap sayang kok. Tetap cinta. Buktinya, selama ini tidak pernah dia yang menyatakan kata 'putus' pada hubungan mereka. "Hmph." Dingin. Ia lupa bawa cardigannya. Atau kain Bali yang dibelikan Dims saat jalan-jalan kemarin. Ia memeluk kakinya erat, berusaha menghangatkan diri. Sendirian. Di saat pacarmu hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempatmu duduk. Menyedihkan.

Courage

Kau percaya bahwa sekarang ia ada disini? Di depan gerbang sekolah kakaknya, berdiri diam dengan manis, menunggu di depan gerbang. Ia bahkan tak peduli akan tatapan dan kasak-kusuk ingin tahu dari orang-orang yang lewat. Biar mereka pergi. Ia takkan peduli. Karena apa yang sedang dilakukannya tak sebanding dengan mengkhawatirkan ucapan orang lain tentangnya. Well, itu pikiran negatif sih. Belum tentu mereka memang benar-benar membicarakan dirinya. Ia menghela napas, salah satu tangannya naik ke puncak kepala, merapikannya sejenak lalu pindah ke keningnya yang tertutup surai-surai hitamnya, kembali ia rapikan. Lalu tangannya tak langsung kembali, ia berdiam di salah satu ujung rambutnya, dimainkan dengan gestur tak sabar. Well, kalau kau sudah menunggu selama dua puluh menit di depan sekolah yang asing bagimu—belum lagi seluruh populasinya berusia lebih tua—kau pasti akan merasa tegang. Belum lagi dengan fakta bahwa ia membawa-bawa sesuatu yang besar di tangannya. Hadiah—kau bisa...

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!