Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya.
Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya.
Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya.
Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum.
Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka, untuk yang terakhir kalinya, menyentuh wajahnya, memeluknya erat.
Pandangannya mulai mengabur sementara didengarnya teriakan panik orang-orang di sekitarnya semakin menghilang, napasnya semakin memburu, berkejaran dengan batas waktu yang dimilikinya. Ia tersenyum lagi, lembut kali ini.
He loves Acchan for being his and his brother and sister's mother. He loves Acchan for being there for them. He loves their Akemi Tsukiharu.
He loves his Ahime-sama for herself. He loves her without thinking, without hesitating. He loves his Athaya Agnar Syarif.
Untuk sesaat, Shinichi Tsukishirou melupakan fakta bahwa dirinya telah menghembuskan napas terakhirnya. Untuk sesaat, ia lupa akan fobianya. Untuk sesaat, ia lupa ia akan sendirian.
Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya.
Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya.
Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum.
Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka, untuk yang terakhir kalinya, menyentuh wajahnya, memeluknya erat.
Pandangannya mulai mengabur sementara didengarnya teriakan panik orang-orang di sekitarnya semakin menghilang, napasnya semakin memburu, berkejaran dengan batas waktu yang dimilikinya. Ia tersenyum lagi, lembut kali ini.
He loves Acchan for being his and his brother and sister's mother. He loves Acchan for being there for them. He loves their Akemi Tsukiharu.
He loves his Ahime-sama for herself. He loves her without thinking, without hesitating. He loves his Athaya Agnar Syarif.
Untuk sesaat, Shinichi Tsukishirou melupakan fakta bahwa dirinya telah menghembuskan napas terakhirnya. Untuk sesaat, ia lupa akan fobianya. Untuk sesaat, ia lupa ia akan sendirian.
Comments