Skip to main content

Awal pada Akhir.

"Why must I always see the ending at the beginning?"
--Icarus, White Hinterland

Tough luck.

Ia menghela napas pasrah, iris hitamnya mengamati figur pemuda yang barusan mengobrol dengannya melenggang pergi, beringsut mendekati teman-temannya. Teman-teman perempuannya. God. Sampai sekarang ia masih tak percaya ia bisa punya perasaan pada orang itu selama enam tahun belakangan. Meski akhir-akhir ini ia bersikeras menyanggah fakta bahwa ia sebenarnya masih punya perasaan yang sama dengan yang ia rasakan enam tahun lalu.

Geli, tahu tidak? Terlalu klise, bahkan untuk standar penggila cerita roman macam dirinya.

Dan lagi, meski orangtua mereka berdua cukup akrab (yang seharusnya membuat salah satu pihak merasa lebih senang ketika tahu anaknya naksir anak teman si orangtua), ibunya justru sering menyatakan ketidaksukaannya ketika tahu anaknya naksir anak temannya. Cari yang lain saja, katanya. Meski anak lelaki itu terbilang sopan dan baik di mata orangtuanya. Terlalu cewek, menurut ibunya.

Yakali ia sendiri yang meminta dirinya untuk suka pada orang seperti itu.


She was the closest.

Next to his precious little sister. And his K.

Ia bersandar pada atap rumah mereka, matanya menatap langit malam diatasnya. Ia selalu membuat metafora bagi kehidupannya. Bahwa ialah langit malam, bertatah bintang-bintang gemerlap dan sang bulan yang bersinar indah. Bahwa ia hanya pengamat, sekedar wadah bagi kehidupan bintang dan bulannya. Selamanya berada dalam bayang-bayang gelap, tak pernah bisa bersinar seterang bintang dan bulannya. Lagipula, siapa dia hingga bisa menyaingi terang keduanya?

Ia hanya sang langit malam, yang beruntung memiliki keduanya dalam kehidupan. Tanpa mereka, ia akan selalu gelap, hitam tanpa warna lain yang mewarnainya.

Ia kira ia hanya punya dua. Nyatanya, belakangan ada yang bertambah.

Bukan bintang, bukan juga sang bulan. Kehadirannya tiba-tiba, namun datang dengan tenang seperti angin musim semi. Terangnya pun berbeda. Seakan bersinar terang, tapi tidak membutakan. Pancaran sinar yang membuatnya ingin menyimpan pancaran itu untuknya sendiri. Ikut membawanya saat ia harus berganti waktu dengan langit biru terang dan sang matahari, seperti yang ia lakukan pada bintang dan bulannya.

But things like that just don't last.

Karena dia bukan bintang, bukan bulan, bukan juga salah satu planet yang terkadang ikut mampir di kehidupannya. Seperti komet. Datang, lalu hilang dengan cepat.

Ia hanya berharap dia akan kembali lagi ke langitnya. Suatu hari nanti.

Comments

Popular posts from this blog

Nisha - Irza #1

Nisha pertama melihat Irza di kelas. Sosok laki-laki yang dengan tenang memasuki kelas, dimana yang lain masih terlihat bingung dan canggung terhadap perubahan dari SMA menuju dunia perkuliahan. Justru sebaliknya, seperti yang sudah bertahun-tahun berada disana, Irza melenggang masuk. Nisha melihat Irza dari kursinya di depan, mengawasi dari sudut mata sampai Irza berhenti di belakang, di pojok kelas, di dekat jendela. Lalu diam-diam ia mencuri pandang selama kuliah, mendapati Irza yang mulai mengobrol dan mendapat teman di belakang sana. Nisha iri. Nisha juga ingin berkenalan dengan Irza. Irza pertama melihat Nisha di pengumpulan mahasiswa baru. Saat itu ia terlambat, datang tergopoh-gopoh di belakang barisan. Sosok Nisha di depan mencuri perhatiannya. Masih ada ya, perempuan yang memakai tas Buzz Lightyear? Sepanjang briefing, Irza mencuri pandang ke arah Nisha di barisan depan. Gadis itu dengan cepat berkenalan dengan lingkungan sekitarnya, ikut mencuri perhatian beberapa seni...

Kadang ia berpikir, tidakkah semuanya terlihat tak adil baginya? Meski pada akhirnya, memang mereka berdua yang merasakan sakitnya, tapi keputusannya--tindakannyalah yang memicu sakit tersebut. Tidakkah pernah terpikirkan, sakit nya jauh lebih menyakitkan dari sakit dia. Ia yang tahu akibatnya. Ia yang tahu konsekuensinya. Ia yang tahu--seberapa besar keputusannya akan menyakiti keduanya--dirinya, paling tidak. Ia tak bisa benar-benar menjamin bahwa dia menyimpan rasa yang sama sepertinya. Dia selalu menanggung segalanya. Semua pedih, semua sakit, segala keputusan. Semua sebab dan akibat. Tak pernahkah kau berpikir, bahwa akupun merasa begitu? Bahwa akupun sebenarnya tak sekuat yang terlihat. Tak sedingin yang kutampilkan. Akupun sama. 「 雨が降る。。。か?」 Hujan kali ini terasa berbeda dari biasanya. Ia menengadah, merasakan tiap tetesan hujan itu menghantam tubuhnya keras. Membiarkan dinginnya udara ikut membekukan hatinya. Biar tak ada yang bisa merusak, maupun...

BYNNWYMM #4

Ia benci dingin. Terutama dingin yang seperti ini. Lahir di negara yang iklimnya jauh lebih dingin dari negara yang tengah disinggahinya sekarang ini lantas tidak membuatnya lebih adaptif pada cuaca dingin. Badannya masih menggigil setiap ia bangun di pagi pertama musim dingin. Ia masih berjengit setiap kali kaki telanjangnya menyentuh lantai beku saat musim gugur tiba. Bahkan kini, saat angin laut yang berhembus tak sekencang angin musim gugurnya, ia masih ingin selimutan di bawah selimut tebal. Sambil minum cokelat hangat. Di kamarnya. (atau menyelinap keluar, lalu mengetuk pintu rumah Velasquez. Lalu dengan seenaknya menyelusup di bawah selimut Dims.) Fuh. "Dingin ya?" Perlu ditanya? Tak perlu menengok, ia refleks memeluk tangan yang melingkari pinggangnya, memeluk tiba-tiba dari belakang. Maaf, katanya. Kelamaan. Ia hanya memejamkan mata saat lelaki di belakangnya mengecup puncak kepalanya. Setengah dari situasi ini memang salahnya--oke, tiga perempatnya. S...