"Why must I always see the ending at the beginning?"
--Icarus, White Hinterland
--Icarus, White Hinterland
Tough luck.
Ia menghela napas pasrah, iris hitamnya mengamati figur pemuda yang barusan mengobrol dengannya melenggang pergi, beringsut mendekati teman-temannya. Teman-teman perempuannya. God. Sampai sekarang ia masih tak percaya ia bisa punya perasaan pada orang itu selama enam tahun belakangan. Meski akhir-akhir ini ia bersikeras menyanggah fakta bahwa ia sebenarnya masih punya perasaan yang sama dengan yang ia rasakan enam tahun lalu.
Geli, tahu tidak? Terlalu klise, bahkan untuk standar penggila cerita roman macam dirinya.
Dan lagi, meski orangtua mereka berdua cukup akrab (yang seharusnya membuat salah satu pihak merasa lebih senang ketika tahu anaknya naksir anak teman si orangtua), ibunya justru sering menyatakan ketidaksukaannya ketika tahu anaknya naksir anak temannya. Cari yang lain saja, katanya. Meski anak lelaki itu terbilang sopan dan baik di mata orangtuanya. Terlalu cewek, menurut ibunya.
Yakali ia sendiri yang meminta dirinya untuk suka pada orang seperti itu.
★
She was the closest.
Next to his precious little sister. And his K.
Ia bersandar pada atap rumah mereka, matanya menatap langit malam diatasnya. Ia selalu membuat metafora bagi kehidupannya. Bahwa ialah langit malam, bertatah bintang-bintang gemerlap dan sang bulan yang bersinar indah. Bahwa ia hanya pengamat, sekedar wadah bagi kehidupan bintang dan bulannya. Selamanya berada dalam bayang-bayang gelap, tak pernah bisa bersinar seterang bintang dan bulannya. Lagipula, siapa dia hingga bisa menyaingi terang keduanya?
Ia hanya sang langit malam, yang beruntung memiliki keduanya dalam kehidupan. Tanpa mereka, ia akan selalu gelap, hitam tanpa warna lain yang mewarnainya.
Ia kira ia hanya punya dua. Nyatanya, belakangan ada yang bertambah.
Bukan bintang, bukan juga sang bulan. Kehadirannya tiba-tiba, namun datang dengan tenang seperti angin musim semi. Terangnya pun berbeda. Seakan bersinar terang, tapi tidak membutakan. Pancaran sinar yang membuatnya ingin menyimpan pancaran itu untuknya sendiri. Ikut membawanya saat ia harus berganti waktu dengan langit biru terang dan sang matahari, seperti yang ia lakukan pada bintang dan bulannya.
But things like that just don't last.
Karena dia bukan bintang, bukan bulan, bukan juga salah satu planet yang terkadang ikut mampir di kehidupannya. Seperti komet. Datang, lalu hilang dengan cepat.
Ia hanya berharap dia akan kembali lagi ke langitnya. Suatu hari nanti.
★
Comments