Skip to main content

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu?

Hush. Agama siapa itu coba Shin.

Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih.

Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya?

"Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?"

Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!

Comments

Popular posts from this blog

BYNNWYMM #3

Ukh. Ia gengsi sebenarnya kalau mau balik lagi. Tapi ia juga malas harus melanjutkan perjalanan dan benar-benar mendekati si surfer lokal (kulitnya terlalu hitam, euh ). Maka ia hanya berdiri diam di tengah jarak keduanya, lalu memutuskan untuk duduk dan menatap laut dalam diam. Hampa. Sebal. Kenapa Dims tidak bisa mengerti sih? Ini kan bukan untuk yang pertama kalinya ia bertingkah seperti itu. Ini terjadi nyaris setiap bulan, malah. Ia harusnya sudah tahu, meski Adrianna marah-marah seperti apapun juga, pada dasarnya ia tetap sayang kok. Tetap cinta. Buktinya, selama ini tidak pernah dia yang menyatakan kata 'putus' pada hubungan mereka. "Hmph." Dingin. Ia lupa bawa cardigannya. Atau kain Bali yang dibelikan Dims saat jalan-jalan kemarin. Ia memeluk kakinya erat, berusaha menghangatkan diri. Sendirian. Di saat pacarmu hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempatmu duduk. Menyedihkan.

Courage

Kau percaya bahwa sekarang ia ada disini? Di depan gerbang sekolah kakaknya, berdiri diam dengan manis, menunggu di depan gerbang. Ia bahkan tak peduli akan tatapan dan kasak-kusuk ingin tahu dari orang-orang yang lewat. Biar mereka pergi. Ia takkan peduli. Karena apa yang sedang dilakukannya tak sebanding dengan mengkhawatirkan ucapan orang lain tentangnya. Well, itu pikiran negatif sih. Belum tentu mereka memang benar-benar membicarakan dirinya. Ia menghela napas, salah satu tangannya naik ke puncak kepala, merapikannya sejenak lalu pindah ke keningnya yang tertutup surai-surai hitamnya, kembali ia rapikan. Lalu tangannya tak langsung kembali, ia berdiam di salah satu ujung rambutnya, dimainkan dengan gestur tak sabar. Well, kalau kau sudah menunggu selama dua puluh menit di depan sekolah yang asing bagimu—belum lagi seluruh populasinya berusia lebih tua—kau pasti akan merasa tegang. Belum lagi dengan fakta bahwa ia membawa-bawa sesuatu yang besar di tangannya. Hadiah—kau bisa