Skip to main content

Her

Ia disana.

Ia ada, ia bernapas. Ia disana.

Tapi tak ada yang dilakukannya.

Gadis itu menghela napas, menatap kosong ke arah layar putih—kosong, seperti pikirannya. Kau tahu, ia punya segalanya. Hidupnya seharusnya indah. Seharusnya sempurna. Ia punya keluarga—yang menyayanginya, yang mengerti dan mengayomi segala tingkah lakunya. Ia punya teman—bahkan sahabat. Ia masih punya mereka yang akan mencarinya bila ia hilang. Masih punya tiang untuk menopang. Ia punya kelebihan—dan ia tahu bahwa kelebihannya itu bermanfaat. Ia punya status, punya jabatan untuk digunakan. Kau lihat? Ia punya segalanya.

Tapi terkadang, ia merasa hampa.

Kehampaan yang bahkan tak bisa diisi dengan obrolan singkat, dengan kehangatan keluarganya, atau dengan tumpukan buku-buku yang menggunung di rumahnya (oh ya, ia juga punya itu). Bahkan terkadang ia menyesali hidupnya. Menyesali pilihan yang ia buat.

She was a player. She knows that she’s doing pretty good at that. But she just couldn’t.

Ia pernah bermimpi, melisankan, bahkan meminta, agar ia tak pernah lagi perlu melakukan rutinitas mingguannya. Apa yang beberapa orang lihat sebagai hidupnya, hidup keluarganya. Sering terlintas di benaknya, untuk meninggalkan hal tersebut begitu saja. Padahal prospek masa depan yang menunggunya cerah. Padahal ia mampu untuk mendapat lebih melalui hal itu. Ia mengerling sejenak, menutup matanya.

Terkadang, ia hanya ingin melihat benda itu tersimpan rapi di atas lemari, diatas medali serta sepatunya yang ikut digantung di dinding.

Gadis itu kembali menghela napas, kali ini lebih panjang.

She have friends, she knew that. She have someone to rely on, she’s well aware of that. But she just couldn’t—wouldn’t.

Ia tahu betapa akrabnya mereka dengannya. Ia sadar dan tahu, betapa mereka akan selalu menjadi sahabatnya—meski kini mereka jarang menghabiskan waktu bersama. Ia tahu, seharusnya ia bersyukur, karena ia masih punya ‘mereka’ yang lain. Ia masih punya tempat lain untuk ditinggali. Dan ia tahu—ia ingat, bahwa masih ada dia. Ia tahu dia takkan pernah meninggalkannya. Tapi ia tetap khawatir, gelisah, resah—bahwa ‘mereka’ dan dia miliknya akan meninggalkannya sendirian. Seperti ‘mereka’ yang juga pernah hadir dalam hidupnya.

Ia takut. Karena terkadang, ia hanya ingin dilihat. Ia hanya ingin diperhatikan.

Ia juga punya hak istimewa—oh, ia punya banyak. Ia bisa melakukan apa yang dia inginkan. Ia bisa mendapatkan sesuatu yang beberapa benar-benar ingin untuk bisa mereka dapat. Tapi tentu—semua itu datang dengan beberapa kewajiban.

Yang pertamalah yang paling mengikatnya. Erat, seakan tak mau melepaskannya bagaimanapun juga. Mengekangnya, dan terus menjejalinya dengan tugas demi tugas yang harus ia selesaikan. Yang kedua—mengikatnya dengan prasangka dan ekspektasi. Ia bisa melarikan diri—bagaimanapun juga, ia punya hak tersebut dalam dirinya. Tapi ia terkekang oleh takut. Takut akan murka dari seseorang, akan prasangka yang terus menghantuinya. Lalu yang ketiga—yang hanya mengikat sebagian kecil dari dirinya. Ikatan itu tipis, dan seakan mudah untuk diputuskan. Tapi lagi-lagi, ia takut.

Hidupnya terlalu dikendalikan oleh prasangka—yang menjadi akar dari segala ikatan yang dimilikinya.

Tapi—kau pikir bagaimana ia bisa merasa tenang?

She needs to be able to read people, in order to break free from her fear.

Because—truthfully—there’s only one thing she fears.

She fears of being hated.

Well, sebenarnya ini udah lama gw tulis, cuma yaaaaaaaaaaa—gitu deh. Ada yang bisa menebak isi tersiratnya?

Comments

Popular posts from this blog

BYNNWYMM #3

Ukh. Ia gengsi sebenarnya kalau mau balik lagi. Tapi ia juga malas harus melanjutkan perjalanan dan benar-benar mendekati si surfer lokal (kulitnya terlalu hitam, euh ). Maka ia hanya berdiri diam di tengah jarak keduanya, lalu memutuskan untuk duduk dan menatap laut dalam diam. Hampa. Sebal. Kenapa Dims tidak bisa mengerti sih? Ini kan bukan untuk yang pertama kalinya ia bertingkah seperti itu. Ini terjadi nyaris setiap bulan, malah. Ia harusnya sudah tahu, meski Adrianna marah-marah seperti apapun juga, pada dasarnya ia tetap sayang kok. Tetap cinta. Buktinya, selama ini tidak pernah dia yang menyatakan kata 'putus' pada hubungan mereka. "Hmph." Dingin. Ia lupa bawa cardigannya. Atau kain Bali yang dibelikan Dims saat jalan-jalan kemarin. Ia memeluk kakinya erat, berusaha menghangatkan diri. Sendirian. Di saat pacarmu hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempatmu duduk. Menyedihkan.

Courage

Kau percaya bahwa sekarang ia ada disini? Di depan gerbang sekolah kakaknya, berdiri diam dengan manis, menunggu di depan gerbang. Ia bahkan tak peduli akan tatapan dan kasak-kusuk ingin tahu dari orang-orang yang lewat. Biar mereka pergi. Ia takkan peduli. Karena apa yang sedang dilakukannya tak sebanding dengan mengkhawatirkan ucapan orang lain tentangnya. Well, itu pikiran negatif sih. Belum tentu mereka memang benar-benar membicarakan dirinya. Ia menghela napas, salah satu tangannya naik ke puncak kepala, merapikannya sejenak lalu pindah ke keningnya yang tertutup surai-surai hitamnya, kembali ia rapikan. Lalu tangannya tak langsung kembali, ia berdiam di salah satu ujung rambutnya, dimainkan dengan gestur tak sabar. Well, kalau kau sudah menunggu selama dua puluh menit di depan sekolah yang asing bagimu—belum lagi seluruh populasinya berusia lebih tua—kau pasti akan merasa tegang. Belum lagi dengan fakta bahwa ia membawa-bawa sesuatu yang besar di tangannya. Hadiah—kau bisa...

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!