Skip to main content

3 Sentences, 3 Stories

Boredom

Fuyuki bosan.

Ia berjalan lambat-lambat, sejak tadi berkeliaran tak tentu arah di sekitar halaman luas Ryokubita. Ia bosan belajar untuk kelulusan. Bosan diam di kamar mendengar ocehan Naomi-chan. Bosan merawat biolanya yang sudah tergosok bersih tanpa debu. Bosan memainkan biolanya. Bosan berlatih softball. Bosan lempar tangkap. Bosan menonton TV. Bosan segalanya.

Dan yang buruknya, ia tak bisa menemukan sosoknya di tengah kebosanannya ini. Well, siapa tahu dengan berkeliaran di sekitarnya bisa mengusir rasa bosan yang melingkupi dirinya sejak Sabtu pagi kemarin. Menghela napas, ia berbalik arah, kembali berjalan menuju gedung asrama untuk melakukan kegiatan entah apa. Memasak, mungkin? Siapa tahu disana juga ada dia.

"Oomft."

Ia merasakan badannya terpental ke belakang beberapa senti, sosoknya berkedip-kedip sejenak sebelum mengangkat kepala untuk melihat identitas orang yang tak sengaja menabraknya tersebut.

"Senpai?"

Ara.

"Hai, Gikyo," balasnya pendek, tersenyum lebar. Selalu seperti ini. Dipertemukan di saat yang tak diduga. Ia menatap sosok pemuda di depannya membalas senyumnya, tangannya terulur ke depan, meminta tangan milik Fuyuki agar menyambutnya, "Senpai sedang apa? Aku bosan nih."

(smirks)

"Sedang bosan juga. Kita main saja yuk."

"Boleh," pemuda di depannya menjawab dengan alis terangkat, senyum penuh arti terpasang di wajahnya, "Senpai ikut?"

"Tentu."

Kemana, tanyamu? Hi-mit-su.

A/N : Gaje, iya saya tahu =)) Lanjut ah :-"

Teacher

 KRIIIIIIING!

Gikyo mendengus kesal mendengar suara keras yang bergaung di seluruh gedung akademi Ryokubita, menandakan bahwa sudah saatnya mereka kembali memasuki kelas setelah istirahat makan siang. Sosok gadis di depannya tertawa kecil, meremas tangan pemuda yang tengah digenggamnya sedari tadi, lalu bangkit. Ia tersenyum minta maaf, mengecup singkat kening pemuda tersebut, lalu berjalan pergi mengikuti kerumunan anak-anak yang keluar dari kantin.

Gikyo benci bel itu. Bel penanda istirahat selesai.

Dan ia benci guru-guru yang belakangan mulai rajin mendatangi kelas gadisnya. Tsk. Hanya karena sosoknya sebentar lagi harus menghadapi ujian kelulusannya, bukan berarti semua guru harus serentak rajin masuk ke kelas gadis itu. Meninggalkan Gikyo melamun sendirian di kelasnya--yang belakangan ini sering sekali kosong.

Menghela napas, akhirnya ia ikut bangkit, mengikuti langkah gadisnya keluar dari kantin, beranjak naik ke kelasnya. Oh well. Sepertinya hari ini pun ia takkan bela--

"Toshiro-san, matte kudasai!"

Berhenti seketika, Gikyo mengenali wajah guru mantranya yang kini tengah berjalan mendekati sosoknya, entah darimana. Di tangannya tergenggam kertas-kertas tebal dengan (ia mengintip) diagram-diagram, lingkaran sihir, serta gerakan-gerakan tongkat di dalamnya. Ia mengangkat alis, "Ada apa, Kurogami-sensei?"

"Bisa tolong berikan ini pada kelas Genezer tingkat akhir? Informasikan ketua kelasnya, baik aku maupun Ise-sensei tak bisa mengajar hari ini. Suruh mereka belajar sendiri, berdasarkan materi ini," ia menyerahkan tumpukan kertas tebal tersebut pada Gikyo, tersenyum berterima kasih, "Maaf merepotkan. Aku buru-buru soalnya. Arigatou, Toshiro-san!" sosok Hakurai Kurogami melambai sejenak, lalu segera menghilang, berteleportasi pergi.

Oh no. Seharusnya ia yang berterima kasih, sensei.

Sosoknya bersiul riang sambil menaiki tangga, tersenyum membayangkan wajah terkejut kekasihnya ketika tahu yang menjadi guru hari ini adalah Gikyonya.

 Hakurai Kurogami -- Charms Teacher (c) Kak Ndhez

Cheap

 Fuyuki menimbang-nimbang bungkusan kecil di tangannya, terus menerus menghela napas, terlihat dilematis sambil berguling tak henti diatas kasurnya, membuat jengkel sesosok perempuan lain yang menghuni kamar tersebut bersamanya. Tak sadar akan hal tersebut, kali ini menghela napas keras sambil berdecak, terduduk sejenak, lalu kembali berbaring di tempat tidurnya.

"Kau kenapa sih, Fuyu-chan? Berisik deh daritadi."
Sosok Naomi memprotes jengkel, menutup buku yang tengah dibacanya, lalu menatap tajam sosok sahabatnya yang kembali terduduk, menatap Naomi minta tolong, "Besok Gikyo ulang tahun. Aku sudah belikan kadonya sih," ia menunjuk kotak kecil di genggamannya, "Tapi aku takut ini--well, kurang berharga untuk diberikan," tanpa sadar, Fuyuki mengacak rambutnya sendiri, frustasi. Sahabatnya hanya menggelengkan kepala, menghela napas.

"Kau itu pintar tapi konyol ya, Fuyuki-chan."
"Eh? Enak saja! Apa maksud--"

"Gikyo-kun takkan memedulikan berapa banyak yang kau habiskan untuk membeli kadonya. Ia akan menghargai apapun itu yang kau berikan, Fuyuki. Bahkan sehelai tisu sekalipun--meski aku yakin bahkan dia pun akan menganggap itu hadiah yang aneh darimu."

Memicingkan mata, Fuyuki mengangkat alisnya, "Darimana kau tahu bahwa ia akan menerima kadoku apa adanya?"

Naomi menghela napas lagi, putus asa. Ia ragu kenapa sosok di depannya ini sampai bisa menjabat sebagai Hisho Ryokubita dua tahun, serta mendapat gelar Best Student dua kali. Sungguh, seberapa tidak sadarnya sih dia akan perhatian yang diberikan pacarnya?

"Karena dia mencintaimu. Sesimpel itu."

Naomi Shiori -- Genezer Last Year, Bara (c) sakenyucchi

Comments

Popular posts from this blog

BYNNWYMM #3

Ukh. Ia gengsi sebenarnya kalau mau balik lagi. Tapi ia juga malas harus melanjutkan perjalanan dan benar-benar mendekati si surfer lokal (kulitnya terlalu hitam, euh ). Maka ia hanya berdiri diam di tengah jarak keduanya, lalu memutuskan untuk duduk dan menatap laut dalam diam. Hampa. Sebal. Kenapa Dims tidak bisa mengerti sih? Ini kan bukan untuk yang pertama kalinya ia bertingkah seperti itu. Ini terjadi nyaris setiap bulan, malah. Ia harusnya sudah tahu, meski Adrianna marah-marah seperti apapun juga, pada dasarnya ia tetap sayang kok. Tetap cinta. Buktinya, selama ini tidak pernah dia yang menyatakan kata 'putus' pada hubungan mereka. "Hmph." Dingin. Ia lupa bawa cardigannya. Atau kain Bali yang dibelikan Dims saat jalan-jalan kemarin. Ia memeluk kakinya erat, berusaha menghangatkan diri. Sendirian. Di saat pacarmu hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempatmu duduk. Menyedihkan.

Courage

Kau percaya bahwa sekarang ia ada disini? Di depan gerbang sekolah kakaknya, berdiri diam dengan manis, menunggu di depan gerbang. Ia bahkan tak peduli akan tatapan dan kasak-kusuk ingin tahu dari orang-orang yang lewat. Biar mereka pergi. Ia takkan peduli. Karena apa yang sedang dilakukannya tak sebanding dengan mengkhawatirkan ucapan orang lain tentangnya. Well, itu pikiran negatif sih. Belum tentu mereka memang benar-benar membicarakan dirinya. Ia menghela napas, salah satu tangannya naik ke puncak kepala, merapikannya sejenak lalu pindah ke keningnya yang tertutup surai-surai hitamnya, kembali ia rapikan. Lalu tangannya tak langsung kembali, ia berdiam di salah satu ujung rambutnya, dimainkan dengan gestur tak sabar. Well, kalau kau sudah menunggu selama dua puluh menit di depan sekolah yang asing bagimu—belum lagi seluruh populasinya berusia lebih tua—kau pasti akan merasa tegang. Belum lagi dengan fakta bahwa ia membawa-bawa sesuatu yang besar di tangannya. Hadiah—kau bisa...

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!