Skip to main content

To Promise You This. Always.

Promise

She promised. They promised.

Ia sudah berjanji, ia takkan pernah menghilang. Berjanji akan selalu menunggunya. Ia sudah berjanji, dan ia masih ingat jelas akan janji itu. Janji mereka yang dikukuhkan oleh seuntai kalung di lehernya, berdenting ketika bersinggungan dengan kalung perak lain yang dikenakannya. She already made her promise, to always love him no matter what. Tangannya meraih bandul perak di kalungnya, secara tak sadar menggenggamnya erat.

She remembered the night. Saat keduanya tak sengaja terkunci diluar, dan bertemu satu sama lain--lagi-lagi--di ruang rekreasi. Sementara Fuyuki menyapanya tenang, sosok adik kelasnya terlihat gugup menemukan senpainya sama-sama terperangkap di luar kekkai.

They ended up with the talk. Keduanya berpelukan erat, seakan malam itu adalah malam terakhir Fuyuki bersama Gikyo. Seakan esok nanti, sosoknya sudah menghilang, dinyatakan lulus lalu berpisah dengan Gikyonya. Memang hanya akan berselang setahun sampai Gikyo pun lulus dari Ryokubita. Tapi setahun itu waktu yang cukup lama.

Makanya, ia memberikan Fuyuki kalung itu. Sebagai janji.

She promised. To always be there.

To wait.

Prove

Sejak kapan Fuyuki mengiyakan ajakan sesat Naomi Shiori untuk bermain Truth or Dare?

Dan sejak kapan Fuyuki menyanggupi tantangan yang dilontarkan gadis itu saat botol yang mereka gunakan menunjuk padanya, dan bibirnya refleks menjawab 'Dare' ketika ditanya? Tsk. Ia seharusnya tahu, mengikuti apapun yang diucapkan Naomi Shiori hanya akan mengantarnya pada kesesatan sejati. Dimana pada akhirnya, Fuyuki hanya akan tampak konyol. Ia menggerutu ketika sosoknya didorong oleh Naomi yang cekikikan bersama gadis-gadis Bara lain.

Sial.

"Jangan lupa, Fuyu-chan. Buktikan. Dan bukan hanya pada kami, tapi pada seluruh Ryokubita."

"Pastikan suara terdengar, Fuyu-chan!"

"Ganbare!"

Dobel sial.

Ia menarik napas dalam, mencari sosok pemuda dengan rambut coklat kemerahan setengkuk dan iris cokelat sipit yang selalu ditatapnya. Pemuda yang dikenal dengan kemampuan bermusiknya. Serta statusnya yang saat ini merupakan kekasihnya. Pemuda yang sama yang selalu mengundang rona kemerahan di pipinya saat mereka tengah bersama-sama. Apalagi sekarang, mengingat tindakan yang akan ia lakukan sedikit--well, ekstrim. Apalagi baginya.


Menemukan sosok yang dicari, ia segera menghampirinya. Memanggil dengan nada gugup yang sangat kentara. Iris cokelat mudanya menghindari tatapan dari kedua mata pemuda tersebut, yakin ekspresi wajahnya kini takkan jauh dari ekspresi wajah bingung. Siapa yang tidak bingung kalau melihat kekasihmu tiba-tiba muncul dengan cosplay Momoko Hanasaki dari anime Wedding Peach? Apalagi yang tengah dikenakan Fuyuki saat ini kostum wedding dress mereka. Tsk.

"Gikyo... uh. Aku.... aku...." ia menelan ludahnya, berhenti sejenak, wajahnya tertunduk, tak berani menatap Gikyo di hadapannya. Ini lebih sulit dari yang ia duga. Mengumpulkan keberaniannya, ia menarik napas dalam-dalam. Pipinya sudah dipastikan merona sangat merah sekarang.

"AKU CINTA GIKYO. SELALU."

Ukh. UKH. Tantangan bodoh sialan. Naomi sialan.

"KE--" ukh. Pipinya akan meledak sebentar lagi, ia bersumpah. Menggenggam pergelangan tangan Gikyo, ia menguatkan diri, "KEKKON SHITE..... ku--kureru?"

Kepiting. Fuyuki sukses berubah menjadi kepiting saking merah wajahnya.

OOC! =)) Sebodo ah :-"

Comments

Popular posts from this blog

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!

Her

Ia disana. Ia ada, ia bernapas. Ia disana. Tapi tak ada yang dilakukannya. Gadis itu menghela napas, menatap kosong ke arah layar putih—kosong, seperti pikirannya. Kau tahu, ia punya segalanya. Hidupnya seharusnya indah. Seharusnya sempurna. Ia punya keluarga—yang menyayanginya, yang mengerti dan mengayomi segala tingkah lakunya. Ia punya teman—bahkan sahabat. Ia masih punya mereka yang akan mencarinya bila ia hilang. Masih punya tiang untuk menopang. Ia punya kelebihan—dan ia tahu bahwa kelebihannya itu bermanfaat. Ia punya status, punya jabatan untuk digunakan. Kau lihat? Ia punya segalanya. Tapi terkadang, ia merasa hampa . Kehampaan yang bahkan tak bisa diisi dengan obrolan singkat, dengan kehangatan keluarganya, atau dengan tumpukan buku-buku yang menggunung di rumahnya (oh ya, ia juga punya itu). Bahkan terkadang ia menyesali hidupnya. Menyesali pilihan yang ia buat. She was a player. She knows that she’s doing pretty good at that. But she just couldn’t. Ia pernah bermimpi...

dorks #3

"Hah? Itu beneran nama lo?" Hotaru kan nama Jepang. Si Dimasu--Hotaru di depannya kan bukan orang Jepang. Baru pindah kesini, malah. Lagipula ya, kenapa harus Hotaru, coba. Imej cool yang sudah mulai terbangun di kepala Shin jadi hilang. Sekarang di kepalanya dipenuhi gambaran hutan di malam hari, dengan bola-bola cahaya kecil yang beterbangan. Wait, kenapa juga ia membayangkan imej si Hotaru? Lagipula, kelihatannya anak pindahan ini tidak sealim yang ia dan teman-temannya sangka. Shin kan sudah expert, jadi ia tahu kalau bertemu sesama expert. Seperti cengiran yang sengaja dilempar dengan lirikan kecil ke arah cewek-cewek. Dan mata yang berkilat-kilat bandel. Sering sekali ia lihat pada Haruki. Maupun dirinya sendiri. Ia menangkap bola yang dilempar Hotaru sambil nyengir bandel, sengaja bermain-main dengan memutar-mutar bolanya dengan satu jari. Cek reaksi, ceritanya. Tuh kan, langsung heboh semua. Score one! "Yuk, main." (feel Shin gw.....)