Traitor
Traitor. Pengkhianat.
Dirinya tak pernah menyangka akan tiba saat dimana ia merasa pantas disebut seperti itu. Saat hatinya tiba-tiba bergejolak terhadap sosok lain, merasa tergelitik bukan terhadapnya, tapi terhadap yang lain. Setetes air matanya jatuh, membasahi pipinya yang memerah. Di ambang amarah, rasa bersalah, dan—sesuatu yang lain. Yang membuatnya merasa bersalah, hingga air matanya menetes tanpa sadar. Tangannya bergetar di samping badannya, terkunci oleh tangan besar lain milik pemuda di hadapannya.
If she was to make an excuse, ia disudutkan. Apa yang kau harapkan dari seorang sahabat lama yang sudah lama tak kau temui? Pertengkaran tiba-tiba yang berujung pada posisinya yang tersudut oleh pemuda tersebut jelas tidak termasuk dalam bayangannya. Apalagi ketika kau tiba-tiba merasakan kembali apa yang pernah kau rasakan. Jauh, jauh sebelum rasa itu menghilang, tertutupi perasaan yang sama terhadap orang yang berbeda.
Ia bersalah.
Bersalah—karena dibiarkannya bibir pemuda tersebut menyentuh bibirnya, lalu terdiam tanpa usaha lanjutan untuk berusaha melepaskan diri darinya. Bersalah—karena ada satu bagian dalam dirinya yang tak menyangkal apa yang dirasakannya saat pemuda itu menciumnya. Karena ia merasakan gelenyar yang sama, rasa tergelitik yang sama dengan yang dirasakannya ketika dia menciumnya. Bersalah—karena ada bagian dari dirinya yang ingin membalas ciumannya. Ingin melingkarkan tangannya di lehernya. Ingin mencumbu. Ingin dicumbu. Air matanya kembali turun membasahi kedua pipinya.
Ia merasa bersalah. Tapi mengapa ia menyukainya?
She's a traitor. That's why.
Boy
Ini tentang seorang anak laki-laki. Anak laki-laki yang selalu dianggapnya spesial.
Ingatannya kembali pada masa kecilnya, mengingat dengan jelas dua sosok yang selalu berlari bersama, bermain dan melakukan segalanya bersama-sama. Ia ingat apa yang keduanya sering lakukan. Menyelinap keluar di malam hari hanya untuk melihat bintang, lalu kembali pulang untuk dimarahi oleh orantua mereka. Ia ingat betapa anak laki-laki itu lambat laun menjadi sosok yang sangat berharga untuknya. Menjadi mataharinya.
Ini tentang seorang remaja. Remaja yang mulai disukainya.
Waktu berputar lebih cepat dalam memorinya. Kali ini, ia dihadapkan pada kilasan adegan pendek dua orang yang tengah mengobrol di bangku penonton lapangan baseball. Ia ingat momen itu. Saat ia pertama kali memenangkan pertandingan yang dimainkannya. Dan anak laki-laki itu tetap ada. Bertepuk keras lalu tersenyum lebar penuh kebanggaan kepadanya. Betapa saat itu kebahagiaannya terasa meluap-luap, seringainya tak kunjung hilang hingga akhir hari. Saat mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Saat sosoknya mengantar dirinya pulang sebelum ia sendiri pulang. Saat matanya terpaku pada punggung anak tersebut, menyadari sesuatu untuk pertama kalinya.
Ini tentang seorang pemuda. Pemuda yang nyaris tak dikenalnya.
Kali ini, ia kembali pada masa kini. Matanya membelalak lebar, tubuhnya limbung seketika. Ia beruntung ada dinding yang menahannya di belakang. Sosoknya menggeleng, menolak menerima fakta bahwa pemuda di depannya adalah anak laki-laki yang sama, remaja yang sama yang selama ini selalu disayanginya. Satu yang selama ini selalu ditunggunya untuk kembali menemaninya—di tempat seorang sahabat. Bahwa dahulu ia memang pernah menginginkannya lebih dari sahabat, perasaan itu sudah menghilang. Ia tak menyangka bahwa yang bersangkutan masih merasakannya. Keinginan untuk melangkah lebih dari sekedar sahabat. Ia menggelengkan kepalanya lagi.
Pemuda di depannya, kini bukan lagi anak laki-laki yang dulu dikenalnya.
A/N : Harusnya Boy dulu baru Traitor kayaknya :"|
Comments