Skip to main content

Courage


Kau percaya bahwa sekarang ia ada disini? Di depan gerbang sekolah kakaknya, berdiri diam dengan manis, menunggu di depan gerbang. Ia bahkan tak peduli akan tatapan dan kasak-kusuk ingin tahu dari orang-orang yang lewat.

Biar mereka pergi. Ia takkan peduli.

Karena apa yang sedang dilakukannya tak sebanding dengan mengkhawatirkan ucapan orang lain tentangnya. Well, itu pikiran negatif sih. Belum tentu mereka memang benar-benar membicarakan dirinya. Ia menghela napas, salah satu tangannya naik ke puncak kepala, merapikannya sejenak lalu pindah ke keningnya yang tertutup surai-surai hitamnya, kembali ia rapikan. Lalu tangannya tak langsung kembali, ia berdiam di salah satu ujung rambutnya, dimainkan dengan gestur tak sabar.

Well, kalau kau sudah menunggu selama dua puluh menit di depan sekolah yang asing bagimu—belum lagi seluruh populasinya berusia lebih tua—kau pasti akan merasa tegang.

Belum lagi dengan fakta bahwa ia membawa-bawa sesuatu yang besar di tangannya. Hadiah—kau bisa bilang.

I’m waiting in line to get to where you are
Hope floats up high along the way

Ia paham kalau sekolah ini merupakan salah satu sekolah terunggul di daerahnya. Dan jadwal sehari-hari mereka jauh berbeda dengan jadwal sekolahnya.

Tapi, memangnya mereka pulang sesore ini setiap hari, hm?

Ia mendesah, mengusap peluh yang mulai membasahi dahi lebarnya yang tertutup helai-helai kehitaman, seluruh tubuhnya mulai bergerak tak sabar. Tidak mudah untuk terus mempertahankan posisi berdirinya selama nyaris—berapa sekarang—empat puluh menit? What took them so long? Bahkan kakaknya saja belum terlihat batang hidungnya di gerbang tersebut. Hari ini memang hari ulang tahunnya, tapi kan—

“Ukh.”

Ia meraih ponselnya tak sabar, segera men-dial nomor yang familiar sambil tetap bergerak-gerak tak sabar, mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke semen padat di trotoar tempatnya berdiri. Wajahnya yang semula masih terlihat cukup segar dan tersenyum tak sabar, kini tertekuk sepenuhnya, memainkan bibirnya. Dan ketika nomor yang ingin dihubunginya tak juga menjawab, kesabarannya hilang.

“ARGH!”

Menghentakkan kakinya dengan kesal, ia segera mengantongi kembali ponsel miliknya sambil berjalan mondar-mandir di depan gerbang kosong tersebut, menimbang diantara dua pilihan yang kini dimilikinya. Ponsel kakaknya tak bisa dihubungi—orang itu memang tak bisa memanfaatkan teknologi—dan ia tak bisa memastikan keadaan di dalam. Ia ingin pulang—tapi ia tak ingin menunda hadiah di tangannya.
Ia tak suka harus membuat pilihan.

“Kalyca—?”

And I put all my heart to get to where you are
Maybe it’s time to move away

“Ah!”

Sejenak kedua bulir kehitamannya membelalak, mengerjap nyaris tak percaya. Ekspresinya yang sejenak berubah dari ketidaksabaran dan kebingungan, kini berganti riang, terhias senyum manis yang terulas indah di wajahnya. Dalam sekejap, ia mengatur kembali ekspresinya, “Hai kak,” ia melambai kecil, canggung.

“Halo,” sosok di depannya tersenyum, membalas sapaan singkatnya, “Kamu ngapain disini sampe jam segini? Nungguin kakakmu?”

Sejujurnya, tidak. Tapi tubuhnya memberontak, lebih mematuhi perintah otak daripada hati.

“He eh. Kakak masih di dalem ya, kak?” ia melongok kecil, mencoba melihat lebih jelas ke dalam sekolah kakaknya tersebut sebelum fokusnya kembali terpancang pada pemuda di depannya, “Kayaknya. Tadi sih dia dipanggil guru gitu. Mau pulang bareng, ya?”

Lagi, ia mengangguk.

“Tapi kayaknya—aku mending pulang duluan aja deh kalo Kakak kayaknya masih lama. Takut kesorean,” ia meringis kecil, menyunggingkan cengir canggungnya. Sekarang juga sebenarnya ia sudah kesorean. Lihat waktu yang tertera di arloji pada pergelangan kananmu. Pemuda di depannya hanya mengangguk-angguk, tangannya bergerak ke belakang kepala, berdiam di situ dengan gestur salah tingkah.

“Kayaknya sih dia emang masih lama,” sejenak sosoknya melirik ke arah gedung sekolah di belakangnya. Seakan disengaja, tatapannya terpancang pada kotak besar kira-kira selebar bahu di tangan gadis di depannya ketika irisnya kembali untuk menatap gadis di depannya, “Itu buat kakakmu?”

Kali ini, badannya mengikuti kehendak hatinya.

“Err—bukan sih,” ia menggeleng kecil, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Ini buat kakak,” tangannya menyodorkan hadiah tersebut pada pemuda yang kaget di depannya, “Hari ini kakak ulang tahun, kan? Selamat ya kak,” ia tersenyum kecil, mengangsurkan kotak tersebut pada pemuda di depannya, kepalanya tertunduk, tak berani mendongak, “Aku—pulang sekarang aja deh. Err, nanti kalo kakak ketemu kakakku, kasih tau aja tadi aku nungguin dia,” ia segera berbalik setelah melihat ekspresi terkejut pemuda tersebut sekilas, bersiap untuk meninggalkan gerbang tersebut.

“Hadiahnya—buka di rumah aja ya kak? Makasih,” ia kembali berbalik sekali, menyunggingkan senyum terakhirnya sebelum pergi, “Duluan ya kak.”

Sebenarnya, ia ingin mengatakan lebih banyak. Ingin bicara lebih banyak. Apa daya, keberanian dan kenekatannya sudah habis terpakai.

Lagipula, ia akan tahu ketika membuka hadiahnya nanti.

This time, I’m gone to where this journey ends

Coba-coba buat Creative Writing, tadinya. Oh well.

Comments

Popular posts from this blog

BYNNWYMM #3

Ukh. Ia gengsi sebenarnya kalau mau balik lagi. Tapi ia juga malas harus melanjutkan perjalanan dan benar-benar mendekati si surfer lokal (kulitnya terlalu hitam, euh ). Maka ia hanya berdiri diam di tengah jarak keduanya, lalu memutuskan untuk duduk dan menatap laut dalam diam. Hampa. Sebal. Kenapa Dims tidak bisa mengerti sih? Ini kan bukan untuk yang pertama kalinya ia bertingkah seperti itu. Ini terjadi nyaris setiap bulan, malah. Ia harusnya sudah tahu, meski Adrianna marah-marah seperti apapun juga, pada dasarnya ia tetap sayang kok. Tetap cinta. Buktinya, selama ini tidak pernah dia yang menyatakan kata 'putus' pada hubungan mereka. "Hmph." Dingin. Ia lupa bawa cardigannya. Atau kain Bali yang dibelikan Dims saat jalan-jalan kemarin. Ia memeluk kakinya erat, berusaha menghangatkan diri. Sendirian. Di saat pacarmu hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempatmu duduk. Menyedihkan.

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!