Skip to main content

ずっと。

"Sing me my lullaby."

Maka kau akan bernyanyi untukku. Seperti biasa. Seperti yang selalu kuminta.

Sekali-dua kali, kau akan menggeleng, menyunggingkan cengir jahilmu sambil beralasan. Menyuruhku agar lekas tidur saja tanpa harus mendengar nyanyian yang kuinginkan. Lalu aku hanya akan tersenyum kecil, setengah arogan setengah mengejek sambil menuruti apa yang kau katakan, segera meraih bantal lalu berguling memunggungimu. Aku tahu, semua itu tak ada gunanya. Kau tetap akan bernyanyi. Lalu aku akan berbalik mencarimu. Seperti biasa.

So when I ask you the same for now, I want you to sing it like you usually do.

Aku tak mau ada air mata. Aku tak mau mendengar suaramu bergetar. Aku tak mau melihat wajah lelahmu bersedih hanya karena aku. Bukankah kita berdua sudah tahu? I'll go, and you'll stay for a little while. And then we'll meet again at last. Bukankah segalanya selalu berjalan seperti itu diantara kau dan aku? Selalu aku yang pergi.

"I'm sorry. For always leaving you behind."

So don't cry. Just sing me my lullaby.

---

Perlahan, kelopak matanya menutup, genggaman tangannya pada jari-jari lelaki itu menguat. Mengundang tatapan khawatir dari kedua iris cokelat yang memancar sama lelahnya, penuh kepedihan. Pancaran yang nyaris sama dengan pancaran mata wanita di depannya. Hanya, iris cokelat muda yang, meski memancar lelah, tetap terlihat bersemangat, kali ini terlihat nyaris kehilangan cahayanya, nampak pasrah. Seakan keduanya takkan pernah membuka lagi untuk menatapnya.

To see into his own. Ever again.

"Onegai?"

She begs. And he'll obliged. Like they usually do.

Perlahan, laki-laki itu menghapus air matanya. Ia tersenyum lemah, lalu melantunkan melodi yang selalu ia lagukan. Melodi yang sama yang selalu dinyanyikannya. Kapanpun gadisnya membutuhkannya. Suaranya bergetar saat ia merasa tangan yang digenggamnya erat mulai melemah, nyaris melepaskan pegangannya. Ia mengangkat wajahnya, menangkap bibirnya tengah mengucap 'arigatou' tanpa suara, lalu tersenyum damai, perlahan menutup kedua kelopaknya.

---

"Nee, Gikyo. Lagu apa yang tadi kau mainkan?"

"Itu? Itu lagu untukmu. Baru saja selesai."

"Hmm. Kau mau tidak menyanyikannya lagi untukku?"

"Sekarang?"

"Sekarang. Sampai selamanya."

"Tidak ah. Capek."

"Gikyo!"

"(chuckles) Hai hai, aku cuma bercanda. Tentu, Fuyuki."

"Always?"

---

"Oyasumi, senpai."



-------------------
For Prompts; Melody. FH-ST.

Comments

Popular posts from this blog

dorks #3

"Hah? Itu beneran nama lo?" Hotaru kan nama Jepang. Si Dimasu--Hotaru di depannya kan bukan orang Jepang. Baru pindah kesini, malah. Lagipula ya, kenapa harus Hotaru, coba. Imej cool yang sudah mulai terbangun di kepala Shin jadi hilang. Sekarang di kepalanya dipenuhi gambaran hutan di malam hari, dengan bola-bola cahaya kecil yang beterbangan. Wait, kenapa juga ia membayangkan imej si Hotaru? Lagipula, kelihatannya anak pindahan ini tidak sealim yang ia dan teman-temannya sangka. Shin kan sudah expert, jadi ia tahu kalau bertemu sesama expert. Seperti cengiran yang sengaja dilempar dengan lirikan kecil ke arah cewek-cewek. Dan mata yang berkilat-kilat bandel. Sering sekali ia lihat pada Haruki. Maupun dirinya sendiri. Ia menangkap bola yang dilempar Hotaru sambil nyengir bandel, sengaja bermain-main dengan memutar-mutar bolanya dengan satu jari. Cek reaksi, ceritanya. Tuh kan, langsung heboh semua. Score one! "Yuk, main." (feel Shin gw.....)

*IMAGE HEAVY*

--when photobucket, tinypic, and tumblr are being a fuckin' bitch

Her

Ia disana. Ia ada, ia bernapas. Ia disana. Tapi tak ada yang dilakukannya. Gadis itu menghela napas, menatap kosong ke arah layar putih—kosong, seperti pikirannya. Kau tahu, ia punya segalanya. Hidupnya seharusnya indah. Seharusnya sempurna. Ia punya keluarga—yang menyayanginya, yang mengerti dan mengayomi segala tingkah lakunya. Ia punya teman—bahkan sahabat. Ia masih punya mereka yang akan mencarinya bila ia hilang. Masih punya tiang untuk menopang. Ia punya kelebihan—dan ia tahu bahwa kelebihannya itu bermanfaat. Ia punya status, punya jabatan untuk digunakan. Kau lihat? Ia punya segalanya. Tapi terkadang, ia merasa hampa . Kehampaan yang bahkan tak bisa diisi dengan obrolan singkat, dengan kehangatan keluarganya, atau dengan tumpukan buku-buku yang menggunung di rumahnya (oh ya, ia juga punya itu). Bahkan terkadang ia menyesali hidupnya. Menyesali pilihan yang ia buat. She was a player. She knows that she’s doing pretty good at that. But she just couldn’t. Ia pernah bermimpi...