Skip to main content

Posts

Showing posts from 2011

knight of night

"Ready?" He nodded curtly, wearing back his mask as they moved out, blending in with the crowd. As if someone would notice. He strolled around, noticing familiar faces behind the masks they put on. His boring eyes scanned the room for some indication of events that may happened. And then, he saw her. His golden-hazeled eyes found another pair of dark chocolate ones, framed by a golden eye mask. She didn't notice him. She was busy talking to another company, a familiar blue-haired one. He hated it. He hated how easy it is for him to found her in such crowd. To feel what he used to feel the moment his eyes captured her figure. For a moment, all he sees is her. He simply forgot about his reasons. Why he's here, why he left, what he'd thrown (he sounded like an idiot). After what seems like forever of intent-staring moment, her dark chocolate eyes found his. And there comes the sparks. He even forgot he used to feel it. His lips curled into a small smile, hidd

stay still

"Kimi ga oitetta mono nara, mada koko ni aru yo" And that's how I kept it. All this time. I didn't move an inch--hell, you'd be terrified if I could. I simply stood still, keeping what I have to keep. Continuing on protecting what you asked me to protect. Believing you will always come back. Here, where I lies. Isn't it kind of sad? Thinking that you could go on everywhere leaving this in my safe possession, whilst I had to stood still. Waiting for you to come back. Doing your regular check, while you talk about what you've been doing. And for me to just simply listen and be still. I can't smile, I can't laugh, I can't give you a comforting look or a simple pat to cheer you up--what you mostly need. And to think that I don't feel even the slightest bit of frustration, that is what I myself questioned out. Is it because I felt content, to be able to remember and see your clear, happy smile when I close my eyes? Is it because my memory

ずっと。

" Sing me my lullaby ." Maka kau akan bernyanyi untukku. Seperti biasa. Seperti yang selalu kuminta. Sekali-dua kali, kau akan menggeleng, menyunggingkan cengir jahilmu sambil beralasan. Menyuruhku agar lekas tidur saja tanpa harus mendengar nyanyian yang kuinginkan. Lalu aku hanya akan tersenyum kecil, setengah arogan setengah mengejek sambil menuruti apa yang kau katakan, segera meraih bantal lalu berguling memunggungimu. Aku tahu, semua itu tak ada gunanya. Kau tetap akan bernyanyi. Lalu aku akan berbalik mencarimu. Seperti biasa. So when I ask you the same for now, I want you to sing it like you usually do. Aku tak mau ada air mata. Aku tak mau mendengar suaramu bergetar. Aku tak mau melihat wajah lelahmu bersedih hanya karena aku. Bukankah kita berdua sudah tahu? I'll go, and you'll stay for a little while. And then we'll meet again at last . Bukankah segalanya selalu berjalan seperti itu diantara kau dan aku? Selalu aku yang pergi. "I'm

Gazes

"AWAAAASSS!" DUKK! Gadis itu memejamkan mata, berjongkok ketakutan sambil melindungi kepalanya dari bahaya tertimpuk bola orange besar bergaris-garis yang terbang dengan kecepatan tinggi dari sebelah kanannya. Untung ia cepat, jadi masih sempat menghindari bolanya. Tuh lihat. Buktinya tadi ada bunyi 'dukk' kencang, kan? Omong-omong, siapa sih yang lempar beginian? "Nggak papa kan?" "Nggak. Cuma nyaris apa-apa," ia menjawab ketus, berusaha bangkit dari posisi jongkoknya. Cih. Mana buku-bukunya yang tadi ia peluk, hah? Malu juga sih ketahuan refleks membuang buku-buku itu, lalu jongkok dan berteriak ketakutan. Yakali ada cewek yang nggak begitu kalau ketemu bola besar. Mana tadi buku-bukunya? "Sorry deh. Nih. Buku-bukunya sampe ikut terbang tadi." Hoshit. Itu..... ITU DONGWOON?! "Athaya Syarif, ya? Sori ya. Kapan-kapan gw traktir deh." "Heh?" "Cari aja Shinichi Tsukishirou, Fakultas Manajemen B

魂 双子

Kamu tahu nggak, Shin? Apa? Kamu punya kembaran loh. Uh huh. Namanya Shin juga. Tapi orangnya lebih jahat dari kamu. Yeah yeah. Dia juga udah mati. Matinya ketusuk piso di dada kiri loh. Terus? Bukannya kemaren kamu mimpi ketusuk di dada kiri ya? Hubungannya? Kamu mau ketemu, nggak? Shinichi membuka mata, sedikit menyipit menghindari cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah di tirai jendelanya. Ia menegakkan diri, terduduk sambil menggaruk kepalanya, kembali mengingat mimpi anehnya barusan. Hah. Kembaran, katanya. Nonsense. Ia bangkit, mengintip sedikit ke luar jendela untuk melihat cuaca serta prakiraan waktu saat ini. Cerah. Dan terang. Artinya sudah sedikit siang. Dan kemungkinan besar ia sudah membolos beberapa mata kuliah. Dan nyaris melewatkan janji makan siang yang sudah dibuatnya dengan Ahime-sama nya kemarin. Untung ia terbangun. Sambil menguap lebar, Shinichi memasuki kamar mandinya, membersihkan diri

Last

Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya. Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya. Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya. Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum. Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka

I Hate You

Tentang tiga hal yang ia yakini diam-diam: Ia sayang Kazuhiko Reichi Shibasaki ternyata tampan. Ia terancam jatuh cinta kepadanya. ★ “Apa ini, Araide-chan? Kau punya pengagum rahasia ?” Secarik kertas segera berpindah dari tangan Kazusa Araide, terampas oleh sosok lelaki muda yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Gadis itu merengut, melempar pandang ‘kenapa-ganggu-kalau-tidak-diganggu’ pada lelaki bermarga Shibasaki tersebut, menarik napas panjang, “Ngapain sih kau ganggu-ganggu aku? Kurang kerjaan sekali. Kemarikan suratnya! Jangan sok ingin ikut campur urusan orang lain deh! Sana urusi pacar-pacarmu saja!” ujarnya ketus sambil kembali mengambil kertas berisi surat miliknya tersebut, tepat ketika sosok Reichi Shibasaki mengernyit. “Kau surat-suratan dengan Kazuki Itou ?” “Memangnya kenapa? Tidak boleh?” ia mengangkat alis menantang, melipat suratnya yang kembali ia masukkan ke kantung hakamanya di sisi yang berlawanan dengan tempat Shibasaki, “Mau tahu banget sih…” gumamnya p

Of Guilt and Changes

Traitor Traitor. Pengkhianat. Dirinya tak pernah menyangka akan tiba saat dimana ia merasa pantas disebut seperti itu. Saat hatinya tiba-tiba bergejolak terhadap sosok lain, merasa tergelitik bukan terhadapnya, tapi terhadap yang lain. Setetes air matanya jatuh, membasahi pipinya yang memerah. Di ambang amarah, rasa bersalah, dan —sesuatu yang lain. Yang membuatnya merasa bersalah, hingga air matanya menetes tanpa sadar. Tangannya bergetar di samping badannya, terkunci oleh tangan besar lain milik pemuda di hadapannya. If she was to make an excuse, ia disudutkan. Apa yang kau harapkan dari seorang sahabat lama yang sudah lama tak kau temui? Pertengkaran tiba-tiba yang berujung pada posisinya yang tersudut oleh pemuda tersebut jelas tidak termasuk dalam bayangannya. Apalagi ketika kau tiba-tiba merasakan kembali apa yang pernah kau rasakan. Jauh, jauh sebelum rasa itu menghilang, tertutupi perasaan yang sama terhadap orang yang berbeda. Ia bersalah. Bersalah —karena dibiarkan

To Promise You This. Always.

Promise She promised. They promised. Ia sudah berjanji, ia takkan pernah menghilang. Berjanji akan selalu menunggunya. Ia sudah berjanji, dan ia masih ingat jelas akan janji itu. Janji mereka yang dikukuhkan oleh seuntai kalung di lehernya, berdenting ketika bersinggungan dengan kalung perak lain yang dikenakannya. She already made her promise, to always love him no matter what . Tangannya meraih bandul perak di kalungnya, secara tak sadar menggenggamnya erat. She remembered the night. Saat keduanya tak sengaja terkunci diluar, dan bertemu satu sama lain--lagi-lagi--di ruang rekreasi. Sementara Fuyuki menyapanya tenang, sosok adik kelasnya terlihat gugup menemukan senpainya sama-sama terperangkap di luar kekkai. They ended up with the talk. Keduanya berpelukan erat, seakan malam itu adalah malam terakhir Fuyuki bersama Gikyo. Seakan esok nanti, sosoknya sudah menghilang, dinyatakan lulus lalu berpisah dengan Gikyonya. Memang hanya akan berselang setahun sampai Gikyo pun lulus dar

3 Sentences, 3 Stories

Boredom Fuyuki bosan. Ia berjalan lambat-lambat, sejak tadi berkeliaran tak tentu arah di sekitar halaman luas Ryokubita. Ia bosan belajar untuk kelulusan. Bosan diam di kamar mendengar ocehan Naomi-chan. Bosan merawat biolanya yang sudah tergosok bersih tanpa debu. Bosan memainkan biolanya. Bosan berlatih softball. Bosan lempar tangkap. Bosan menonton TV. Bosan segalanya. Dan yang buruknya, ia tak bisa menemukan sosok nya di tengah kebosanannya ini. Well, siapa tahu dengan berkeliaran di sekitarnya bisa mengusir rasa bosan yang melingkupi dirinya sejak Sabtu pagi kemarin. Menghela napas, ia berbalik arah, kembali berjalan menuju gedung asrama untuk melakukan kegiatan entah apa. Memasak, mungkin? Siapa tahu disana juga ada dia . " Oomft ." Ia merasakan badannya terpental ke belakang beberapa senti, sosoknya berkedip-kedip sejenak sebelum mengangkat kepala untuk melihat identitas orang yang tak sengaja menabraknya tersebut. "Senpai?" Ara. "Hai, Gi

Prompts--50 Sentences

1. Warm 2. Soft 3. Palm 4. Sing 5. Secret 6. Melody 7. Aimless 8. Side 9. Cross 10. Two 11. Over 12. Small 13. Wish 14. Truth 15. Scene 16. Reflect 17. Seasons 18. Sky 19. Heart 20. Smile 21. Huge 22. Wound 23. Run 24. Close 25. Fade 26. Face 27. Near 28. Young 29. Kiss 30. Please 31. Prove 32. Kind 33. Sorry 34. First 35. Move 36. Cheap 37. Boredom 38. Teacher 39. Traitor 40. Boy 41. Trap 42. Deep 43. Believe 44. Regret 45. Inside 46. Shadow 47. Sigh 48. Yesterday 49. Promise 50. Continue HTML Tables 50 Prompts for Infantrum's 50 Sentences Challenge . Would be all about Fuyu - Gikyo, ehe. Wish me luck :3

Be The One - #7

"Karena kau sama menggodanya sepertiku. I can't afford losing all the time now, can I?" Adrianna menyeringai lebar, mengkopi seringai jahil yang sering tertempel di wajah pacarnya itu--yang omong-omong kini meraih tangannya yang melingkar nyaman di leher Dims, untuk diturunkan kembali ke permukaan tempat tidur. Ia kembali nyengir lebar ketika tangan Dims tak meninggalkan tangannya, malah menahannya erat, "Apa ini? Kau takut aku lari, hm?" Dan Adrianna kembali memejamkan mata ketika wajah Dims mendekat, menutup jarak diantara mereka dengan kecupan singkat yang seakan dilakukan untuk membalas kecupannya beberapa detik lalu. Ia menghela napas mendengar Dims mengulagi pertanyaannya. "Dan kalau aku tetap tak mau menjawab, apa yang akan kau lakukan, dear ?" Adrianna betah kok, tiduran seperti ini.

Courage

Kau percaya bahwa sekarang ia ada disini? Di depan gerbang sekolah kakaknya, berdiri diam dengan manis, menunggu di depan gerbang. Ia bahkan tak peduli akan tatapan dan kasak-kusuk ingin tahu dari orang-orang yang lewat. Biar mereka pergi. Ia takkan peduli. Karena apa yang sedang dilakukannya tak sebanding dengan mengkhawatirkan ucapan orang lain tentangnya. Well, itu pikiran negatif sih. Belum tentu mereka memang benar-benar membicarakan dirinya. Ia menghela napas, salah satu tangannya naik ke puncak kepala, merapikannya sejenak lalu pindah ke keningnya yang tertutup surai-surai hitamnya, kembali ia rapikan. Lalu tangannya tak langsung kembali, ia berdiam di salah satu ujung rambutnya, dimainkan dengan gestur tak sabar. Well, kalau kau sudah menunggu selama dua puluh menit di depan sekolah yang asing bagimu—belum lagi seluruh populasinya berusia lebih tua—kau pasti akan merasa tegang. Belum lagi dengan fakta bahwa ia membawa-bawa sesuatu yang besar di tangannya. Hadiah—kau bisa

Be The One - #6

Ia bergidik kecil ketika tangannya menyentuh pipinya yang barusan memerah. Ia tahu intensi yang disembunyikan itu. Ia hanya berharap perkiraannya--well, ia tak bisa bilang ia berharap perkiraannya meleset juga. Ia tak mau membohongi dirinya sendiri. Ia sudah dewasa, kau tahu. Pipinya semakin memerah ketika Dims kembali mengulangi pertanyaannya. Apalagi ketika sosoknya menunduk untuk berbisik di telinganya. Sent her chills. Wajahnya, alih-alih kembali pada jarak normalnya semula, kini semakin mendekat. Bibirnya hanya berjarak beberapa senti dari bibirnya sendiri. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan tangan dinginnya menyentuh tengkuk Adrianna. Ia ingin tahu. Ingin tahu sampai seberapa jauh pemuda di depannya berani melangkah. Ia maju, mengecup singkat bibir Dimitri di depannya, lalu tersenyum, nyaris menggoda. Kedua tangannya naik, kembali ia kalungkan di leher pemuda tersebut, menggunakannya sebagai pijakan untuk kepalanya naik sampai ke level yang sama dengan telinganya, berbis

Be The One - #5

Adrianna tertawa kecil, memindahkan tangannya yang tengah memeluk erat pinggang pemuda tersebut ke wajahnya, mengelus perlahan pipinya untuk kemudian ia cubit perlahan. Ia gemas, tahu. Tersenyum jahil, ia kembali terdiam, kedua tangannya kini melingkar di belakang leher pemuda tersebut sambil menunggu dirinya menjawab pertanyaan yang ia ajukan beberapa menit yang lalu. Ia mengerutkan kening, "Ya sesuatu itu apa, Atreiyu ?" nadanya setengah mengejek pada panggilan yang ia gunakan. Kau tahu, dengan Dims segalanya mungkin terjadi. Ia takkan heran bila tiba-tiba sosok di depannya menghilang dan tahu-tahu mengajaknya pergi ke suatu tempat. Kerutan di keningnya perlahan menghilang ketika sosok Dims bangkit, kini berada tepat di atasnya. Pipinya memerah seketika. Ada kontroversi yang berkecamuk di hatinya mengenai posisi mereka saat ini. Jantungnya berdegup kencang, pipinya memanas ketika perlahan Dims mengelus rambutnya dengan senyum jahil yang--setengah ia suka dan setengah

Be The One - #4

“No I don’t.”  Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?" Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa. Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?" Lalu hening. "Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gant

Be The One - #3

Adrianna Saralee Arks tidak benar-benar tidur. Tidak ketika ia tengah berbaring di ranjang kekasihnya, di dalam kamar di rumahnya. Apalagi bila sosok kekasihnya kebetulan adalah sosok seorang Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez. Tidak. Maka ketika tidak terdengar respon apapun dari tindakan impulsnya (yang sebenarnya tidak benar-benar serius), matanya terbuka kecil, mengintip sejenak pada sosok lelaki tersebut sambil tetap menjaga badannya diam seperti tertidur. Ups. Ia kembali memejamkan matanya erat ketika melihat sekilas sosok Dims beranjak dari tempatnya, meninggalkan tumpukan kaset-kaset game yang berterbaran dimana-mana, acak-acakan. Kemana pemuda itu pergi? Ia tak sempat mengecek arah berjalannya sosok Dims tadi. Takut akan terlihat bahwa dirinya sebenarnya belum tidur. Sebenarnya masih terbangun. Meski ia akui, bila keadaan dirinya dibiarkan seperti itu--mata terpejam damai di atas kasur--ia jamin tak akan sampai dua puluh menit sampai dirinya benar-benar tertidur pulas

Her

Ia disana. Ia ada, ia bernapas. Ia disana. Tapi tak ada yang dilakukannya. Gadis itu menghela napas, menatap kosong ke arah layar putih—kosong, seperti pikirannya. Kau tahu, ia punya segalanya. Hidupnya seharusnya indah. Seharusnya sempurna. Ia punya keluarga—yang menyayanginya, yang mengerti dan mengayomi segala tingkah lakunya. Ia punya teman—bahkan sahabat. Ia masih punya mereka yang akan mencarinya bila ia hilang. Masih punya tiang untuk menopang. Ia punya kelebihan—dan ia tahu bahwa kelebihannya itu bermanfaat. Ia punya status, punya jabatan untuk digunakan. Kau lihat? Ia punya segalanya. Tapi terkadang, ia merasa hampa . Kehampaan yang bahkan tak bisa diisi dengan obrolan singkat, dengan kehangatan keluarganya, atau dengan tumpukan buku-buku yang menggunung di rumahnya (oh ya, ia juga punya itu). Bahkan terkadang ia menyesali hidupnya. Menyesali pilihan yang ia buat. She was a player. She knows that she’s doing pretty good at that. But she just couldn’t. Ia pernah bermimpi

Be The One - #2

Sosoknya membuka mata saat kecupan tersebut menghilang, sosok Dims berpindah, berbaring tepat di sampingnya. Tersenyum kecil, ia kembali memejamkan mata sejenak. Jujur saja, sebenarnya sejak tadi ia ingin tidur. Badannya lelah. Belum lagi pengaruh jetlag yang dirasanya. Masalahnya, mana tega ia bilang begitu ketika kekasihnya tiba-tiba menariknya ke kamarnya? "Hm?" matanya terbuka, menanggapi panggilan dari Dims. Senyumnya—meski ia mengakui senyum jahilnya sedikit.....well—seksi, tapi ia tak pernah suka senyum itu. Alasan yang menyebabkan senyum tersebut biasanya meliputi dia, dan rencana-entah-apa yang biasanya merugikan dirinya. "Mau apa..... sih?" tubuhnya bergerak ke belakang sedikit, refleks ketika mendengar kata 'main' yang diikuti tatapan Dims. Tsk, firasatnya buruk. Sosok pemuda tersebut perlahan mendekati tengkuknya hingga wangi rambut pemuda tersebut tercium jelas olehnya. “Main itu.” Perlahan matanya membuka, irisnya mengikuti arah yang ditunj

*IMAGE HEAVY*

--when photobucket, tinypic, and tumblr are being a fuckin' bitch

Be The One - #1

Dan surya pun tenggelam. Adrianna tersenyum kecil, bersandar pada sosok yang merangkulnya hangat, menikmati cahaya matahari senja bersama. Baru saja ia pulang, and yet her boyfriend simply dragged her up to his room in an instant. Ia bahkan belum sempat membereskan kopernya. She didn't mind, though. "Dims?" "Ya?" "Dingin," tubuhnya hanya dilapisi blus serta selimut tipis yang diberikan olehnya. Di tengah musim dingin, di balkon kamar lelaki tersebut. Jelas ia kedinginan. “Mau masuk?” Dan gadis tersebut mengangguk mengiyakan, mengikuti langkahnya memasuki ruangan yang ia kenal betul isinya. Lengan yang sejenak tadi merangkulnya, kini berpindah, setengah merengkuh dengan posesif sambil membimbingnya tepat — ke tempat tidur pemuda tersebut. Merasakan berat tubuhnya tertarik gravitasi (oh, salahkan lelaki yang memberinya dorongan sedikit), tubuhnya jatuh terbaring di atas kasurnya. Ia memerah, "Hei, Dims —" Dan ketika tubuhnya hendak ban