Skip to main content

Be The One - #4

“No I don’t.” 

Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?"


Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa.


Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?"


Lalu hening.


"Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gantungi seperti ini."

Nanti ia pulang, lho.

Comments

Popular posts from this blog

dorks #3

"Hah? Itu beneran nama lo?" Hotaru kan nama Jepang. Si Dimasu--Hotaru di depannya kan bukan orang Jepang. Baru pindah kesini, malah. Lagipula ya, kenapa harus Hotaru, coba. Imej cool yang sudah mulai terbangun di kepala Shin jadi hilang. Sekarang di kepalanya dipenuhi gambaran hutan di malam hari, dengan bola-bola cahaya kecil yang beterbangan. Wait, kenapa juga ia membayangkan imej si Hotaru? Lagipula, kelihatannya anak pindahan ini tidak sealim yang ia dan teman-temannya sangka. Shin kan sudah expert, jadi ia tahu kalau bertemu sesama expert. Seperti cengiran yang sengaja dilempar dengan lirikan kecil ke arah cewek-cewek. Dan mata yang berkilat-kilat bandel. Sering sekali ia lihat pada Haruki. Maupun dirinya sendiri. Ia menangkap bola yang dilempar Hotaru sambil nyengir bandel, sengaja bermain-main dengan memutar-mutar bolanya dengan satu jari. Cek reaksi, ceritanya. Tuh kan, langsung heboh semua. Score one! "Yuk, main." (feel Shin gw.....)

*IMAGE HEAVY*

--when photobucket, tinypic, and tumblr are being a fuckin' bitch

Her

Ia disana. Ia ada, ia bernapas. Ia disana. Tapi tak ada yang dilakukannya. Gadis itu menghela napas, menatap kosong ke arah layar putih—kosong, seperti pikirannya. Kau tahu, ia punya segalanya. Hidupnya seharusnya indah. Seharusnya sempurna. Ia punya keluarga—yang menyayanginya, yang mengerti dan mengayomi segala tingkah lakunya. Ia punya teman—bahkan sahabat. Ia masih punya mereka yang akan mencarinya bila ia hilang. Masih punya tiang untuk menopang. Ia punya kelebihan—dan ia tahu bahwa kelebihannya itu bermanfaat. Ia punya status, punya jabatan untuk digunakan. Kau lihat? Ia punya segalanya. Tapi terkadang, ia merasa hampa . Kehampaan yang bahkan tak bisa diisi dengan obrolan singkat, dengan kehangatan keluarganya, atau dengan tumpukan buku-buku yang menggunung di rumahnya (oh ya, ia juga punya itu). Bahkan terkadang ia menyesali hidupnya. Menyesali pilihan yang ia buat. She was a player. She knows that she’s doing pretty good at that. But she just couldn’t. Ia pernah bermimpi...