Skip to main content

Posts

Showing posts from 2012

Dorks #1

Kalau ada yang teriak siang-siang, terutama kalau suaranya terdengar maskulin , itu pantas untuk dicari tahu sebab akibatnya. Shinichi menengok, mencari tahu siapa yang berteriak frustasi seperti itu di siang bolong begini. Habis patah hatikah? Atau kesal karena pacarnya ditikung orang? HA. Baru juga masuk SMA udah kepo gini. Sudah punya basis fans cewek-cewek tersendiri. Yang namanya Shinichi Tsukishirou emang minta dikeroyok lalu digiring ke sawah rame-rame. Lalu alis Shin kedut-kedutan. Pusing dan tidak mengerti melihat wajah anak baru di kelasnya adalah pelaku teriakan frustasi tadi. Yeah, anak yang sejak masuk beberapa hari lalu kerjanya cuma diam saja di kelas. Yang kehadirannya bikin geger seluruh sekolah, dan memancing gadis-gadis tambahan yang rajin mejeng di depan kelasnya hanya untuk melihat wajah si anak baru hari ini. Dan membuat nyaris seluruh anak laki-laki di kelasnya menebak-nebak bahwa si anak baru punya komplikasi. Hanya karena yang bersangkutan kerjanya mingkem

BYNNWYMM #7

".... Aku makin nggak mau kalau kamu beneran mau ngajak candlelight dinner." Heu. Kalau sedang menstruasi, Adri memang anomali. Diberi yang manis-manis, tolak. Disodori yang romantis-romantis, buang. Disuguhi yang konyol-konyol, marah. Memang membuat orang serba salah sih jadinya. Tapi ya mau bagaimana. Sudah untung hanya sebulan sekali. Daripada setiap hari, seperti neneknya yang kadang-kadang tidak tahu maunya apa. Diberi anak gadis manis rumahan, disuruh keluar. Lalu nanti ketika yang bersangkutan sudah ngelayap, beliau malah nyap-nyap. Yang seperti ini memang sepertinya sudah mendarah daging di kalangan perempuan keluarganya. "EH EH KAMU NGAP —DIMS!" Ini bisa marah beneran lho, sumpah. Sudah bagus ia mau buka pintu. Dekatinya pelan-pelan gitu, diajak ngobrol dulu sebentar. Ini malah langsung dijeblak terbuka, lalu diseret. Tolong ya, ia paling benci kalau ada adegan seret-seret. Ia memejamkan mata ketika Dims mendorongnya jatuh ke kasur, lalu langsung

BYNNWYMM #6

Sebenarnya Adri menyesal teriak begitu. Bagaimana kalau nanti Dims benar-benar pergi, lalu bertemu salah satu penari eksotis Bali, lalu tiba-tiba esok paginya sudah menjadi milik orang lain? Hmph. Konsekuensi ditanggung oleh Dims sendiri, kalau saat pulang nanti jari manis Dims sudah bercincin sementara miliknya belum. Yang bersedia membela Adri bukan hanya Izarka seorang, omong-omong. Bersandar di pintu, tubuhnya merosot ke lantai, duduk dengan kaki ditekuk di depannya, terpeluk oleh tangan. Iya, Adri sudah kesal. Padahal tadi ia sudah berniat minta maaf. Sudah ingin memperbaiki keadaan dan liburan berharga mereka dengan itikad baik meski hormonnya sedang kurang mendukung. Senggol sedikit, barbel melayang. “AH AKU GAK MAU TAU POKOKNYA KAMU HARUS MAU NIKAH SAMA AKU!” ..... "KOK KAMU MAKSA SIH?! KALAU AKU NGGAK MAU GIMANA, HAH?!" Bohong besar. Dengan pipi setengah memerah, ia bangkit dan meraih pegangan pintu, membuka pintunya sedikit hingga meninggalkan celah

BYNNWYMM #5

"Kamu saja yang mati. Aku masih mau pulang." Membalas dengan nada matter-of-factly, Adri meraih kedua tangan Dims, lalu melingkarkan keduanya diatas dadanya, merasakan pancaran hangat tubuh Dims yang masih terjaga meski angin bertiup kencang. Moodnya sudah lumayan--syukurlah. Matanya mulai mengerjap-ngerjap mengantuk, semakin terbuai dengan suasana yang nampak sangat mendukung untuk tidur. Masalah bagaimana kembali ke cottage tempat mereka menginap, itu urusan Dims. "Nggak boleh. Nanti sakit," ucapnya polos, setengah bergumam sambil memukul pelan tangan Dims yang ia gunakan sebagai pengganti selimut. Pada gangguan yang berlangsung setelahnya pun, Adri hanya ber-'hng' simpel, kerutan kesal mulai terbentuk di mata serta dahinya. Lalu ketika ia merasa pipinya dilumat sesuatu, ia nyaris berteriak. Nyaris. Kalau tidak dicium. Lalu yang bersangkutan kabur, meninggalkan Adri yang tidak siap sandaran kursinya tiba-tiba hilang, badannya segera limbung ke be

BYNNWYMM #4

Ia benci dingin. Terutama dingin yang seperti ini. Lahir di negara yang iklimnya jauh lebih dingin dari negara yang tengah disinggahinya sekarang ini lantas tidak membuatnya lebih adaptif pada cuaca dingin. Badannya masih menggigil setiap ia bangun di pagi pertama musim dingin. Ia masih berjengit setiap kali kaki telanjangnya menyentuh lantai beku saat musim gugur tiba. Bahkan kini, saat angin laut yang berhembus tak sekencang angin musim gugurnya, ia masih ingin selimutan di bawah selimut tebal. Sambil minum cokelat hangat. Di kamarnya. (atau menyelinap keluar, lalu mengetuk pintu rumah Velasquez. Lalu dengan seenaknya menyelusup di bawah selimut Dims.) Fuh. "Dingin ya?" Perlu ditanya? Tak perlu menengok, ia refleks memeluk tangan yang melingkari pinggangnya, memeluk tiba-tiba dari belakang. Maaf, katanya. Kelamaan. Ia hanya memejamkan mata saat lelaki di belakangnya mengecup puncak kepalanya. Setengah dari situasi ini memang salahnya--oke, tiga perempatnya. S

Kadang ia berpikir, tidakkah semuanya terlihat tak adil baginya? Meski pada akhirnya, memang mereka berdua yang merasakan sakitnya, tapi keputusannya--tindakannyalah yang memicu sakit tersebut. Tidakkah pernah terpikirkan, sakit nya jauh lebih menyakitkan dari sakit dia. Ia yang tahu akibatnya. Ia yang tahu konsekuensinya. Ia yang tahu--seberapa besar keputusannya akan menyakiti keduanya--dirinya, paling tidak. Ia tak bisa benar-benar menjamin bahwa dia menyimpan rasa yang sama sepertinya. Dia selalu menanggung segalanya. Semua pedih, semua sakit, segala keputusan. Semua sebab dan akibat. Tak pernahkah kau berpikir, bahwa akupun merasa begitu? Bahwa akupun sebenarnya tak sekuat yang terlihat. Tak sedingin yang kutampilkan. Akupun sama. 「 雨が降る。。。か?」 Hujan kali ini terasa berbeda dari biasanya. Ia menengadah, merasakan tiap tetesan hujan itu menghantam tubuhnya keras. Membiarkan dinginnya udara ikut membekukan hatinya. Biar tak ada yang bisa merusak, maupun

Awal pada Akhir.

"Why must I always see the ending at the beginning?" --Icarus, White Hinterland Tough luck. Ia menghela napas pasrah, iris hitamnya mengamati figur pemuda yang barusan mengobrol dengannya melenggang pergi, beringsut mendekati teman-temannya. Teman-teman perempuannya . God . Sampai sekarang ia masih tak percaya ia bisa punya perasaan pada orang itu selama enam tahun belakangan. Meski akhir-akhir ini ia bersikeras menyanggah fakta bahwa ia sebenarnya masih punya perasaan yang sama dengan yang ia rasakan enam tahun lalu. Geli, tahu tidak? Terlalu klise, bahkan untuk standar penggila cerita roman macam dirinya. Dan lagi, meski orangtua mereka berdua cukup akrab (yang seharusnya membuat salah satu pihak merasa lebih senang ketika tahu anaknya naksir anak teman si orangtua), ibunya justru sering menyatakan ketidaksukaannya ketika tahu anaknya naksir anak temannya. Cari yang lain saja, katanya. Meski anak lelaki itu terbilang sopan dan baik di mata orangtuanya. Terlalu ce

BYNNWYMM #3

Ukh. Ia gengsi sebenarnya kalau mau balik lagi. Tapi ia juga malas harus melanjutkan perjalanan dan benar-benar mendekati si surfer lokal (kulitnya terlalu hitam, euh ). Maka ia hanya berdiri diam di tengah jarak keduanya, lalu memutuskan untuk duduk dan menatap laut dalam diam. Hampa. Sebal. Kenapa Dims tidak bisa mengerti sih? Ini kan bukan untuk yang pertama kalinya ia bertingkah seperti itu. Ini terjadi nyaris setiap bulan, malah. Ia harusnya sudah tahu, meski Adrianna marah-marah seperti apapun juga, pada dasarnya ia tetap sayang kok. Tetap cinta. Buktinya, selama ini tidak pernah dia yang menyatakan kata 'putus' pada hubungan mereka. "Hmph." Dingin. Ia lupa bawa cardigannya. Atau kain Bali yang dibelikan Dims saat jalan-jalan kemarin. Ia memeluk kakinya erat, berusaha menghangatkan diri. Sendirian. Di saat pacarmu hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempatmu duduk. Menyedihkan.

BYNNWYMM #2

Semarah-marahnya ia, sekesal-kesalnya ia pada sosok lelaki yang tengah berbaring damai di depannya—gosh, he looks so cute—Adrianna Arks masih akan tetap kembali padanya. Klise. Dan sangat, sangat memalukan untuk diakuinya keras-keras. Bahwa bagaimanapun juga, ia toh masih cinta. “WAAAA!” Terkekeh kecil, ia menarik wajahnya, setengah berlari pindah ke depan pemuda itu. Berjongkok di depan sosok Dims yang terjatuh, ia tersenyum manis, "Did I scare you that much?" ucapnya, menepuk-nepuk badan serta kepala Dims yang terkena pasir akibat jatuh. Lalu berubah manyun ketika mendengar kalimat Dims yang berikutnya. "Kamu suka kalau aku marah? Kamu maunya kita berantem lagi aja? Fine ," melengos kesal, Adrianna bangkit berdiri, meninggalkan sosok Dims yang masih terkapar di atas pasir pantai. Sebal. Hilang niat awalnya mau mengajak baikan. Mau minta maaf. Sebalsebalsebal. Setengah berlari, ia mendekati seorang surfer lokal yang tengah berdiri tak jauh dari tempat mere

BYNNWYMM #1

Right. Salahkan saja dia karena kebetulan, jadwal liburan mereka kali ini bertepatan dengan kedatangan tamu bulanannya.   Satu faktor yang menyebabkan hubungan keduanya—yang diharapkan akan bertambah intim berkat liburan ini—justru semakin over the edge akibat pertengkaran tak penting yang sering terjadi.   Pakai lempar-lemparan piring segala, pula. Lebih heboh dari Perang Dunia Kedua. Le sigh. Ia menutup novel yang tengah ia baca, lalu bangkit menuju pintu kaca kamar mereka, terbuka tepat ke arah pantai Bali. Dengan kursi-kursi pantai yang berjejer. Dan satu yang terisi oleh seseorang. Menghela napas lagi, ia menenggelamkan wajahnya dalam summer straw hat lebar yang ia pakai. Iya, dia juga salah sih. Bukannya menahan emosinya, malah nurut saja dan ikut adu keras kepala dengan Dims. Menarik napas dalam-dalam, ia meletakkan bukunya di meja teras belakang villa yang mereka tempati. Beranjak keluar. Menemui si pacar. “Boo.” Mendekati pacar yang tengah capek dimarah