Skip to main content

Be The One - #2

Sosoknya membuka mata saat kecupan tersebut menghilang, sosok Dims berpindah, berbaring tepat di sampingnya. Tersenyum kecil, ia kembali memejamkan mata sejenak. Jujur saja, sebenarnya sejak tadi ia ingin tidur. Badannya lelah. Belum lagi pengaruh jetlag yang dirasanya. Masalahnya, mana tega ia bilang begitu ketika kekasihnya tiba-tiba menariknya ke kamarnya?

"Hm?" matanya terbuka, menanggapi panggilan dari Dims. Senyumnya—meski ia mengakui senyum jahilnya sedikit.....well—seksi, tapi ia tak pernah suka senyum itu. Alasan yang menyebabkan senyum tersebut biasanya meliputi dia, dan rencana-entah-apa yang biasanya merugikan dirinya.

"Mau apa..... sih?" tubuhnya bergerak ke belakang sedikit, refleks ketika mendengar kata 'main' yang diikuti tatapan Dims. Tsk, firasatnya buruk. Sosok pemuda tersebut perlahan mendekati tengkuknya hingga wangi rambut pemuda tersebut tercium jelas olehnya.

“Main itu.”

Perlahan matanya membuka, irisnya mengikuti arah yang ditunjukkan Dimitri padanya. Dirasanya tangan pada tengkuknya menghilang dengan cepat, sosoknya berdiri mendekati tumpukan kaset-kaset yang bertebaran. Adrianna menghela napas. Bikin kaget saja.

"Terserah deh. Apa saja," ia mendudukkan diri, berpindah ke ujung kasur pemuda tersebut, bersandar pada tumpukan bantalnya, "Aku ngantuk ah."

Meraih guling, lalu menarik selimut. Selamat tidur.

Comments

Popular posts from this blog

dorks #3

"Hah? Itu beneran nama lo?" Hotaru kan nama Jepang. Si Dimasu--Hotaru di depannya kan bukan orang Jepang. Baru pindah kesini, malah. Lagipula ya, kenapa harus Hotaru, coba. Imej cool yang sudah mulai terbangun di kepala Shin jadi hilang. Sekarang di kepalanya dipenuhi gambaran hutan di malam hari, dengan bola-bola cahaya kecil yang beterbangan. Wait, kenapa juga ia membayangkan imej si Hotaru? Lagipula, kelihatannya anak pindahan ini tidak sealim yang ia dan teman-temannya sangka. Shin kan sudah expert, jadi ia tahu kalau bertemu sesama expert. Seperti cengiran yang sengaja dilempar dengan lirikan kecil ke arah cewek-cewek. Dan mata yang berkilat-kilat bandel. Sering sekali ia lihat pada Haruki. Maupun dirinya sendiri. Ia menangkap bola yang dilempar Hotaru sambil nyengir bandel, sengaja bermain-main dengan memutar-mutar bolanya dengan satu jari. Cek reaksi, ceritanya. Tuh kan, langsung heboh semua. Score one! "Yuk, main." (feel Shin gw.....)

*IMAGE HEAVY*

--when photobucket, tinypic, and tumblr are being a fuckin' bitch

Her

Ia disana. Ia ada, ia bernapas. Ia disana. Tapi tak ada yang dilakukannya. Gadis itu menghela napas, menatap kosong ke arah layar putih—kosong, seperti pikirannya. Kau tahu, ia punya segalanya. Hidupnya seharusnya indah. Seharusnya sempurna. Ia punya keluarga—yang menyayanginya, yang mengerti dan mengayomi segala tingkah lakunya. Ia punya teman—bahkan sahabat. Ia masih punya mereka yang akan mencarinya bila ia hilang. Masih punya tiang untuk menopang. Ia punya kelebihan—dan ia tahu bahwa kelebihannya itu bermanfaat. Ia punya status, punya jabatan untuk digunakan. Kau lihat? Ia punya segalanya. Tapi terkadang, ia merasa hampa . Kehampaan yang bahkan tak bisa diisi dengan obrolan singkat, dengan kehangatan keluarganya, atau dengan tumpukan buku-buku yang menggunung di rumahnya (oh ya, ia juga punya itu). Bahkan terkadang ia menyesali hidupnya. Menyesali pilihan yang ia buat. She was a player. She knows that she’s doing pretty good at that. But she just couldn’t. Ia pernah bermimpi...