Skip to main content

Secret Heart

@firenationforum - @deeladiladhila
Michael Dante DiMartino & Bryan Koenitzko - Crescendo
Secret Heart - Feist

Secret heart
What are you made of
What are you so afraid of
 
Katara memejamkan mata, kembali berguling di kasurnya. Berusaha melupakan kejadian malam tadi yang masih tercetak jelas di depan matanya. Sebenarnya Katara tak ingin tidur malam itu. Katara ingin mengajaknya begadang saja mala mini bersamanya sampai pagi, lalu melihat matahari terbit bersama-sama sebelum kembali ke kamar masing-masing untuk menghindari kecurigaan. Tapi—tapi, Fire Lord Zuko ternyata sudah punya agenda lain dalam pikirannya malam itu.

Katara sedikit senang, saat Zuko yang ternyata muncul dan menyapanya dari bawah. Lalu bukannya menyuruhnya tidur atau apa, malah ingin ikut naik ke atap bersamanya. Meski saat itu ia terkekeh kecil, ia sedikit gugup saat membuat tangga es bagi sang Raja Api. Apa yang akan terjadi, ia tak bisa bayangkan. Apalagi siangnya mereka sempat berselisih paham. Ia kira malam itu akan berakhir dengan lubang di atap kediaman keluarga Morishita.

Well, sejujurnya Katara lebih memilih opsi itu daripada yang ia alami malam tadi. 


What's wrong
Let him in on your secret heart


“Selamat pagi, Katara.”

Ia ragu sejenak sebelum kemudian membalas sapaan Zuko dengan senyumnya seperti biasa.  Masih terlalu pagi saat ia memasuki ruang makan setelah membersihkan diri. Yang tak ia sangka adalah kehadiran Zuko disana, masih menggunakan pakaian yang sama seakan ia tak pulang ke kamarnya setelah sesi mengobrol singkat mereka semalam. Tidak tidur juga, ia tebak. Karena garis-garis di bawah mata Zuko semakin bertambah dan menghitam, membuat sang Raja Api terlihat kelelahan melewati umurnya.

“Pagi, Zuko. Sempat tidur semalam?” ia beringsut menuju meja, mengambil kursi tepat di hadapan Zuko. Ruangan itu kosong, hanya berisi Zuko dan dirinya. Lagi-lagi. Ia melihat sekelilingnya, mencari sesuatu yang bisa ia lakukan, “Kau mau teh?” ujarnya sambil kembali berdiri, berjalan mendekati meja kecil di sudut yang (ia duga) berisi air hangat dan sejumput daun teh.

“Boleh…. Dan tidak. Sayangnya aku tetap tak bisa tidur semalam,” balas Zuko, sementara Katara telah sampai di pojok tersebut dan kini sibuk menghangatkan air yang rupanya belum hangat dengan bendingnya, “aku kembali ke sana akhirnya, menatap bulan lagi,” tambahnya.

“Bulannya memang sedang bagus tadi malam,” ia menjawab seadanya, berjalan kembali menuju meja makan dengan dua gelas teh di tangannya. Ia meletakkan satu cangkir di hadapan Zuko, dan tepat saat Katara hendak kembali ke kursinya, ia merasakan ada yang menahan tangannya. Genggaman Zuko menahannya pergi, lalu tanpa menatap balik pada mata keemasannya (karena ia bisa merasakan tatapan Zuko padanya), ia menelan ludah, “K-kenapa?”

“Katara.”

Dan pada suara Zuko yang mengucap namanya dengan jelas, ia kembali merasakan hatinya berdegup sedikit lebih kencang.

Look at me, Katara.”

Ia terkejut. Zuko tidak menyuruhnya. Nadanya bukan nada tegas ketika ia memberi perintah pada pasukannya. Atau saat ia menggenggam keras pergelangan tangannya saat Katara melukai prajuritnya di Ba Sing Se. Nadanya lembut. Seperti malam tadi. Katara berbalik perlahan, berusaha menatap balik pada mata keemasan di depannya.

“Have I hurt you last night?”

Zuko bodoh.

“No.”

Katara bodoh.

“Lalu kenapa kau menghindariku?”

“Aku tidak menghindar—“

“Jangan berbohong, Katara. I can see—“

“Aku tak apa-apa Zuko!!”

Dan pada kalimat terakhir itu, Katara setengah berteriak, menarik paksa tangannya dari Zuko. Ia memalingkan wajah, setelah sebelumnya sempat mengerling sejenak pada Raja Api di depannya. Gurat wajahnya berubah kaget, dan ada sedikit rasa sakit yang tersirat akibat tindakan impulsifnya. Ia menggigit bibir, “Lalu kena—“

“I like you too. Okay?”

“…. Ka—“

“Aku menyukaimu, kurasa sejak saat kita terjebak bersama di Ba Sing Se waktu itu. Aku sangat marah setelahnya aku sempat melupakannya. Kau tahu seberapa sakit aku waktu itu saat kau malah memilih bergabung dengan Azula. Kupikir aku sedikit cemburu dan kecewa juga, entahlah. Selama itu kupikir aku membencimu, dan saat Aang mendekatiku, aku—aku pikir aku sudah benar-benar melupakanmu,” Katara berbalik menatap Zuko, kedua bola mata birunya terlihat sedikit basah.

“Lalu saat kau kembali muncul, aku—aku benci kau, Zuko! Semua sudah berjalan sebagaimana mestinya, aku dan Aang, lalu kau entah dengan siapa. Kau harus muncul dan memilih membantu kami saat itu dan terus bersama kami dan aku—oh aku benci sekali, Zuko! Kau membuatku merasa bersalah sekali waktu itu lalu kau malah—malah membantuku menemukan pembunuh ibuku! Kau harus membuat segalanya lebih susah bagiku untuk menahan semua ini, berusaha tetap pada akal sehatku dan terus-menerus mengingatkan diriku bahwa aku—aku—“

“….”

“I love you, Zuko. Sakit rasanya saat melihatmu berdua bersama Mai. Dan aku—aku bersalah selama ini pada Aang. Aku menyayanginya, sungguh. Hanya saja aku—“

Ucapannya terpotong saat itu ketika dilihatnya Zuko tiba-tiba berdiri, memeluknya erat seperti ia semalam refleks memeluknya. Ia diam sejenak, menghirup aroma Zuko yang memenuhi tubuhnya. Dirasanya pelukan tersebut mengerat, dan Katara tak tahan untuk tidak menangis dalam diam. Tangannya perlahan bergerak ke punggung Zuko, balas memeluknya. Tenggelam menangis di pundaknya. Lama mereka terdiam seperti itu, sampai Katara akhirnya berhenti menangis, hanya diam dalam pelukan Zuko.

“….. Maafkan aku.”

“Aku lelah, Zuko. Kupikir dengan berada dekat dengan Aang, dengan bersamanya, aku bisa melupakanmu. Dan untuk sejenak kupikir aku berhasil. Aku sudah tak peduli bahkan bila kau dan Mai tiba-tiba berpelukan atau—atau berciuman di depanku. Sungguh,” Katara kembali bicara, nadanya lelah, “Lalu aku harus mendengar pernyataanmu, semua ucapanmu semalam dan semua hilang begitu saja! Seakan aku kembali berharap dan merasa kita bisa bersama, padahal—“

Ia terdiam, menggantung ucapannya. Katara memejamkan mata. Ia tak seharusnya bicara. Ia tak seharusnya lepas kendali seperti ini. Ia bisa berusaha lebih baik dari ini. Aang berhak mendapat yang lebih baik dari ini. Katara memeluk Zuko erat, lalu perlahan melepaskan diri dari Zuko, berusaha menatapnya sambil tersenyum, “Aku bicara yang tidak-tidak, maafkan aku.”

“Kata—“

“Let’s just forget about this, Zuko.”

 Ia tersenyum sedih.

“We’re never supposed to be, anyway.”

This very secret
That you're trying to conceal
Is the very same one
That you're dying to reveal
Go tell her how you feel

Comments

Popular posts from this blog

dorks #3

"Hah? Itu beneran nama lo?" Hotaru kan nama Jepang. Si Dimasu--Hotaru di depannya kan bukan orang Jepang. Baru pindah kesini, malah. Lagipula ya, kenapa harus Hotaru, coba. Imej cool yang sudah mulai terbangun di kepala Shin jadi hilang. Sekarang di kepalanya dipenuhi gambaran hutan di malam hari, dengan bola-bola cahaya kecil yang beterbangan. Wait, kenapa juga ia membayangkan imej si Hotaru? Lagipula, kelihatannya anak pindahan ini tidak sealim yang ia dan teman-temannya sangka. Shin kan sudah expert, jadi ia tahu kalau bertemu sesama expert. Seperti cengiran yang sengaja dilempar dengan lirikan kecil ke arah cewek-cewek. Dan mata yang berkilat-kilat bandel. Sering sekali ia lihat pada Haruki. Maupun dirinya sendiri. Ia menangkap bola yang dilempar Hotaru sambil nyengir bandel, sengaja bermain-main dengan memutar-mutar bolanya dengan satu jari. Cek reaksi, ceritanya. Tuh kan, langsung heboh semua. Score one! "Yuk, main." (feel Shin gw.....)

BYNNWYMM #4

Ia benci dingin. Terutama dingin yang seperti ini. Lahir di negara yang iklimnya jauh lebih dingin dari negara yang tengah disinggahinya sekarang ini lantas tidak membuatnya lebih adaptif pada cuaca dingin. Badannya masih menggigil setiap ia bangun di pagi pertama musim dingin. Ia masih berjengit setiap kali kaki telanjangnya menyentuh lantai beku saat musim gugur tiba. Bahkan kini, saat angin laut yang berhembus tak sekencang angin musim gugurnya, ia masih ingin selimutan di bawah selimut tebal. Sambil minum cokelat hangat. Di kamarnya. (atau menyelinap keluar, lalu mengetuk pintu rumah Velasquez. Lalu dengan seenaknya menyelusup di bawah selimut Dims.) Fuh. "Dingin ya?" Perlu ditanya? Tak perlu menengok, ia refleks memeluk tangan yang melingkari pinggangnya, memeluk tiba-tiba dari belakang. Maaf, katanya. Kelamaan. Ia hanya memejamkan mata saat lelaki di belakangnya mengecup puncak kepalanya. Setengah dari situasi ini memang salahnya--oke, tiga perempatnya. S...

BYNNWYMM #3

Ukh. Ia gengsi sebenarnya kalau mau balik lagi. Tapi ia juga malas harus melanjutkan perjalanan dan benar-benar mendekati si surfer lokal (kulitnya terlalu hitam, euh ). Maka ia hanya berdiri diam di tengah jarak keduanya, lalu memutuskan untuk duduk dan menatap laut dalam diam. Hampa. Sebal. Kenapa Dims tidak bisa mengerti sih? Ini kan bukan untuk yang pertama kalinya ia bertingkah seperti itu. Ini terjadi nyaris setiap bulan, malah. Ia harusnya sudah tahu, meski Adrianna marah-marah seperti apapun juga, pada dasarnya ia tetap sayang kok. Tetap cinta. Buktinya, selama ini tidak pernah dia yang menyatakan kata 'putus' pada hubungan mereka. "Hmph." Dingin. Ia lupa bawa cardigannya. Atau kain Bali yang dibelikan Dims saat jalan-jalan kemarin. Ia memeluk kakinya erat, berusaha menghangatkan diri. Sendirian. Di saat pacarmu hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempatmu duduk. Menyedihkan.