Skip to main content

Kala Senja, Surya Kelam



“Nar,”

Dantya masuk, pasrah melihat kakaknya masih bercokol di satu bagian kamar yang sama. Masih di cerukan jendela kamar yang sama seperti yang ada di kamarnya. Masih dengan pakaian kemarin, dengan jatah sarapan yang belum tersentuh sama sekali, “Nar,” ia mendekat, menepuk pundak Nara.

“Pergi lo.”

“Nar…”

“Pergi lo.”

Dantya diam, tangannya ia tarik. Tepat dua minggu sudah lewat sejak sahabatnya Dira meninggal akibat penyakit jantung. Sahabat garis miring gadis yang kakak kembarnya cintai. Dantya masih ingat dengan jelas saat itu, ia di rumah tengah beristirahat tenang ketika telepon rumah berbunyi, Nara menelepon dengan suara kalut, sedang di rumah sakit menemani Dira yang mendadak kolaps saat ia lengah sedikit, tengah membelikan Dira minuman di Senopati. Dantya yang sudah bersiap menerima kabar seperti itu, segera menyusul kakaknya, dan memeluk yang bersangkutan. Ia masih ingat jelas, sosok Nara saat itu. Kalut, gemetar, lemas, pucat. Seperti yang lebih sakit daripada Dira sendiri.

Saat Dira meninggal, ia tahu kakaknya nyaris kolaps menyusul ibunda Dira di rumah sakit. Ia masih ingat tangan Nara yang menariknya pergi dari depan pintu ruang operasi, tempat mereka berdua menunggu bersama keluarga Dira semalaman. Ia ingat kakaknya, yang sejak kecil tak pernah sekalipun menangis, saat itu memeluk Dantya, menangis di pundaknya dalam diam. Ia ingat saat itu tangisan keduanya lebur. Ia ingat Nara yang hancur.

Dantya kembali pasrah melihat kakaknya kini, kondisinya masih belum jauh berbeda dengan dua minggu lalu saat ia menemani Nara ke pemakaman Dira. Nara yang berjalan hanya karena tarikan tangan Dantya. Nara yang meremas tangan Dantya erat saat jenazahnya dikuburkan. Nara yang memeluk kedua orangtua Dira, berbagi kesedihan.

“Nar… makan setidaknya deh.”

“Nggak.”

“Gw suapin ya?”

“Nggak.”

“Nar—“

“Pergi lo.”

“Nara—“

“Jangan sok peduli.”

Dantya diam lagi. Kali ini menunduk, matanya menahan tetesan air mata. Dantya yang sudah tahu tentang penyakit Dira sejak lama, sekarang menjadi musuh bagi Nara. Nara yang tak tahu apa-apa. Nara yang hanya bisa panik dan menangis saat Dira mendadak pingsan, bibirnya kebiruan, badannya dingin seperti hilang kehidupannya. Nara bahkan tak perlu bertanya, tak perlu mendengar pengakuan apapun dari Dantya. Nara tahu. Seperti Dantya tahu saat Nara jatuh cinta pada sahabatnya.

Ia tak sepenuhnya salah. Dira sendiri tak pernah ingin orang lain tahu penyakitnya. Hanya Dantya dan keluarga Dira saja. Ayah dan ibu Dira bahkan menjelaskan pada Nara, bahwa mereka memaklumi Nara yang tak tahu apa-apa, tidak menyalahkannya atas kematian putri mereka. Nara hanya diam. Setelah pemakaman usai, Nara tak pernah keluar. Bahkan saat Bunda memanggil. Saat Ayah mengetok. Saat Dantya masuk, membawa homemade cookies favorit Nara. Nara bergeming. Nara diam, menatap jendela, menulis, atau tertidur dengan iPodnya di telinga. Makan pun hanya sesekali. Ia bergerak hanya saat peringatan seminggu kematian Dira tiba.

“Nar… gw minta maaf ga ngomong apa-apa sama lo. Tapi ini bukan karena gw yang mau juga. Dira nggak mau lo tau. Dira nggak mau diliat sebagai orang sakit sama lo. Dia mau tetep bisa jadi pacar yang normal buat lo…” Dantya mengucap pelan, meski ia tahu Nara pasti mengerti. Nara mengerti. Hanya sedih. Dan marah. Dan kehilangan arah untuk meluapkan segalanya.

Dan Dantya…. Dantya tahu. Nara hanya hilang.

Semoga sesaat.

Nara bergerak semakin menjauhi Dantya, mengubur kepalanya dalam lekukan tangan dan kaki, “Senja….”

“Tolong. Pergi.”

Dantya diam, mendekati Nara lalu memeluknya erat dari belakang sejenak. Mengelus lembut kepalanya seperti yang sering mereka lakukan saat takut berdua, “Gw sayang sama lo, Surya. Satu hari ga akan lengkap kalo ga ada lo… Semua nungguin elo. Semua menunggu Surya…..” ucap Dantya lirih, menahan keinginannya untuk tetap diam disitu menemani Nara dalam kesedihannya. Ia tahu, Nara hanya akan mengusirnya lebih jauh. Karena saat ini, Nara hanya perlu menghadapi semuanya sendiri. Nara hanya perlu alasan untuk menyendiri. Nara hanya perlu arah untuk marah. Dantya tahu, kepada ialah semua itu kan mengarah.

Karena saat ini, Nara hanya punya Dantya.

Dantya seorang.

Comments

Popular posts from this blog

Be The One - #4

“No I don’t.”  Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?" Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa. Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?" Lalu hening. "Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gant

Last

Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya. Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya. Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya. Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum. Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!