Skip to main content

end of summer



Oh, my summer boy, my sweet, sweet love,
There will be no more winter for you.



jejaknya terlihat di tumpukan salju putih di depan pondok, mengarah ke danau dengan kilau matahari yang terpantul pada permukaan beku. ia terus berjalan, melewati pohon besar, daunnya memutih tertutup salju, beberapa rantingnya rontok dan dahan-dahan kecilnya patah oleh angin kencang semalam. semalam, saat ia benar-benar ingin keluar dari pondoknya yang terkunci rapat.

semua sudah selesai. hanya ia yang belum benar-benar bangun, nyanyian merdu sahabatnya masih mengalun di telinga. sweet summer boy. seperti yang selalu mereka ucap untuknya. selalu menunjuk senyum lebarnya, seperti musim panas tak pernah berakhir bagi mereka. sweet, sweet, love. lalu mereka tergelak bertiga, menertawakannya bersama. saling menimpali dan menebak siapa sosok paling tepat untuk dianugerahi sederet kata-kata manis barusan. siapa dan kapan. menurutnya, seharusnya ia sampaikan saja kata-kata tersebut untuk mereka.


won't you come with me.


jejaknya masih berlanjut, jauh melewati batas pondoknya, semakin dekat menuju danau. kakinya mulai menapak naik, mengikuti jalur di kepalanya, menuju dua titik di bukit tepat sebelum danau. bukit itu tidak tinggi dan tidak terlalu rendah, tingginya cukup bagi mereka untuk duduk di puncak pada beberapa sore, menikmati akhir dari hari dengan tenang yang jarang terlihat. satu-satunya momen mereka diam saat bersama. ketiganya duduk di atas sebuah selimut tipis, disembunyikan dalam lubang di pohon di kaki bukit. pada musim semi, rerumputan serta bunga-bunga liar yang tumbuh akan menjadi mainan mereka tanpa sadar. dicabuti lalu kadang diikat menjadi mahkota daun. atau ditanam kembali, meski ia sudah meneriaki "sia-sia saja!!". mereka tetap menggali dan meletakkan bagian yang dicabuti di sana.

tapi hari itu salju turun, menutupi seluruh rumput di bukit dan sekitarnya. ia melangkah sendirian, meniti perjalanan hingga sampai di dua titik yang dilihatnya. dua batu yang terpancang berantakan, dengan ukiran kasar dan tanah di depannya yang berbukit tidak datar. seharusnya ia bakar saja, lalu disebar ke sungai di sisi lain danau agar mereka hanyut ke laut bebas, akhirnya. jejaknya berhenti di depan kedua nisan, lalu ia berlutut di sana. tapi ia bukan orang bijak. ia mengikuti apa yang ia inginkan, agar tidak pernah jauh dari jangkauannya. sepi bukan emosi yang ia mengerti hingga kini. juga doa. doanya berbeda. ia tahu mereka mengerti. masing-masing senyum lebar khas kedua sahabat muncul di kepalanya.

"heh."

seharusnya ia membawa bunga. atau sebotol minuman favorit keduanya.

"tunggu aku."

matanya lama menatap kedua nisan, terpantul pada permukaan batu yang cemerlang. mereka gelap, penuh dengan keyakinan dan rasa lelah. mungkin itu jawabannya. tiga menjadi satu bukan hal yang mudah untuk dihadapi sendirian. walaupun pondok yang tadinya dihuni hanya bertiga, kini setiap hari ramai dikunjungi orang-orang. ia tahu semua bermaksud baik. tapi tidak ada jawaban yang bisa mereka beri untuknya.

pelan-pelan ia kembali berdiri, berjalan pergi meninggalkan dua yang meninggalkannya sendiri. tidak ada orang hari itu, atau mungkin ia yang bangun terlalu pagi. suara kakinya yang menjejak di tiap lapisan salju bergema di kepalanya, terus membuatnya maju tanpa ragu atas keputusan yang sudah bulat ia miliki. ia berjalan, melangkah maju seperti yang mereka inginkan. fajar yang baru merekah mewarnai langit di depannya, melatari danau beku yang ia tuju. warnanya sama, seperti saat ia kehilangan keduanya.

jejaknya baru berhenti tepat di tepi danau. matanya menelusuri permukaan danau yang keras, tangannya menggenggam erat kayu ek di sakunya. di sini, mereka sering menghabiskan waktu. menonton langit. menikmati angin. menggoda masing-masing dengan air jernih yang terhampar. atau terkadang mereka mengikuti panggilan danau, menjelajah isinya. ia biarkan dirinya larut kembali, dalam kilasan balik sekian banyak memori yang tersimpan. semuanya berharga baginya. momen ini juga.

tangannya muncul dari balik saku dengan sebatang kayu ek. ada begitu banyak, ia berusaha menyimpan semuanya. dibiarkan olehnya mengalir begitu saja. entah itu ia ambil langsung dari kepala, atau dari tetes-tetes yang turun di kedua mata. semua ia simpan dengan baik lalu ditinggalkan di tepi danau.

lalu lambat-lambat, ia menjejak es permukaan danau yang dingin. tujuannya tidak jauh, agar mudah bagi mereka menemukannya. ia membisikkan suatu kata sambil menunjuk permukaan danau dengan kayunya. retakan yang ia buat perlahan membesar, menjadi lubang kecil yang cukup bagi satu orang. ia menarik napas dalam-dalam.

'tunggu aku.'


Oh, my summer boy, I sit by the brook
I sit and wait for you.




Bits and pieces of quotes are taken from fagr by schoetheisrealaf on AO3. Translation of a norwegian folk song, 'den dag kjem aldri' was by the author themselves. GIF above are taken from zionqt@tumblr.

Comments

Popular posts from this blog

Be The One - #4

“No I don’t.”  Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?" Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa. Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?" Lalu hening. "Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gant

Last

Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya. Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya. Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya. Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum. Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!