Skip to main content

eight.

He knows this is it since they told him, 'you might not debut'.

They told him he's wrong. They told him he's precious. They kept telling him that everything will be fine in the end, it will be 9, they will be 9 and they will debut together. Perform together. Just be together like they promised each other in the beginning of everything. They kept telling him to hold on, kept offering him help to get better.

They trusted him, and here's the problem. They wanted to trust him.

He's standing there, a small smile crept upon his face while looking at the mess around him. Somebody's hand slung around his shoulder, accompanied with a sob. He didn't see, but he was sure it was Jisung. The boy was always the one with too much emotion, with no fear of showing themselves, not holding back anything that he felt. Ah. Maybe that's what makes them different. What makes Jisung safe, still in the run to become the debut member after the end of the show. He wasn't like that. He wasn't confident like Jisung.

Slowly, he raised his arms to hug the boy, hands intending to comfort him when it just made him sob louder, cried harder. Oh dear. He can never do anything right, can't he? The small smile broke, and his face remained impassive that way until now, when he was standing in front of the door of their once shared dorm.

Everything after Jisung came like a blur. The staffs slowly asked them to move, ushering them to leave and do this somewhere else. Their dorm, preferably, he heard one of the staff whispered to themselves. He dragged Jisung out with him, 7 more following his back with the same sadness, perhaps. He didn't see, didn't dare to see. He was afraid if he dared to look back, he would see a sea of sharp eyes, piercing and blaming him to not work harder, practice harder, improve more.

(And maybe they should.)

Comments

Popular posts from this blog

Be The One - #4

“No I don’t.”  Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?" Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa. Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?" Lalu hening. "Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gant

Last

Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya. Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya. Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya. Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum. Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!