Skip to main content

'farewell. it won't be our last.'

hiruk-pikuk stasiun masih terdengar di sekitar mereka, berisi percakapan penuh janji-janji musim panas akan surat maupun kunjungan singkat. hampir semua terdengar bersemangat. optimis pada masa depan yang menjanjikan. beberapa yang lain, sayangnya, tidak seberuntung mereka. di balik gelak tawa dan teriakan girang, isak tangis terdengar di selanya. dari mereka yang tidak tahu kapan garis waktu masing-masing akan kembali bersisian. surat menjadi salah satu pilihan, namun bagi jiwa yang kehilangan, menurutmu cukup hanya melihat kata?

sang pemuda turun dari kereta, menuntun gadisnya yang mengikuti di belakang. ia sama seperti mereka, menghadapi garis akhir yang akhirnya tiba. sepanjang perjalanan ia berusaha terus bersama. mengobrol, berpuas-puas menatap paras gadis yang nantinya tak lagi menjadi suatu keseharian. janji-janji, seperti lainnya, ikut ia lontarkan meskipun inginnya tak perlu ia lakukan. inginnya tetap ada, bersama seterusnya. mereka berjalan hingga keduanya menemukan suaka sang gadis yang menunggu, menjemput untuk mengambil sosoknya pergi dari sisi si pemuda. mereka berhenti sejenak, cukup jauh hingga keluarganya tidak bisa melihat, namun cukup dekat bagi keduanya untuk memperhatikan. mengukur waktu, seberapa lama lagi yang bisa mereka curi sebelum terambil sepenuhnya.

keduanya saling bertatapan, sang pemuda menyunggingkan senyum di bibir (namun matanya?). ia berdeham, menunduk sejenak lalu kembali menatap wajah itu lekat.

"this is it, then."

ia belum mau mengucap perpisahan.

"i promised you my gift at the end, didn't i?"

kakinya maju selangkah, menutup jarak. perlahan, senyumnya merekah. ragunya hanya sejenak, sebelum adrenaline mengambil alih fungsi akal sehat. bahwa mereka ada di stasiun. di tengah rekan maupun keluarga. tiga detik ia biarkan menggantung begitu saja, lalu pada detik berikutnya, bukan hanya kakinya saja yang menutup jarak.

kecupannya lembut, perlahan. seakan itu hal terakhir yang mampu ia lakukan.

(ia ingin mengingatnya, memetakan lekuk bibir gadis itu di kepalanya.)

"sotsugyou omedetou, senpai."

Comments

Popular posts from this blog

Be The One - #4

“No I don’t.”  Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?" Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa. Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?" Lalu hening. "Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gant

Last

Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya. Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya. Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya. Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum. Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!