Skip to main content

Kebangkitan

Udah ga ada.

Nara diam menatap tembok kosong di kamarnya, melamunkan yang tidak ada. Udah ga ada, Nar. Kesayangan lo. Hilang tepat di depan mata lo, saat lo lagi berdua sama dia. Dan lo gabisa ngelakuin apa-apa. Karena lo nggak tau. Lo cuma bisa diem, kaget, panik setengah mati ketika Dira perlahan jatuh ke tanah, napasnya berat. Lo bahkan nggak cukup peka untuk menyadari tanda-tandanya. Dira yang kelelahan. Dira yang minta istirahat. Dira yang mulai sering berhenti untuk napas, megap-megap. Lo tunda terus buat menepi sejenak. Nanti.

Nanti yang berujung tidak ada.

Dan setelah semua kegagalan lo, keluarga Dira masih nggak menyalahkan lo. Bukan salah Nara, katanya. Nara tidak bisa apa-apa karena Nara tidak tahu. Karena Nara pada dasarnya hanyalah pemain baru dalam 17 tahun lakon hidup Dira. Nara tidak tahu apa-apa, dan tidak akan pernah tahu apa-apa kalau Dira tidak pingsan dan berujung meninggal. Dan bukan salah Nara juga untuk tidak tahu. Dira yang memilih Nara untuk tidak tahu. Dira yang memilih menjadikan Nara orang luar, agar Nara tidak melihat Dira seperti keluarganya melihatnya. Agar Dira bisa dicintai dan mencintai seperti orang sehat. Nara menutup matanya, mengingat kalimat Dantya ketika ia sedang frustasi karena tidak tahu.

"Kalo lo tau, apa lo bakal tetep ngeliat Dira apa adanya? Apa lo bisa tetep cinta dia seperti sekarang?"

Kalau. Ada terlalu banyak kata 'kalau' dalam hidup Nara belakangan ini. Nara lelah. Kalau saja Dantya tidak merapikan kamarnya dengan sigap sebelum kembali dihuni Nara pasca pemakaman Dira, Nara pasti sudah menyusulnya sekarang.

Sadar, Nar.

Nara cuma perlu untuk tidak makan.

Sadar, Naranta.

Nara cuma perlu untuk diam di kamarnya. Meminta maaf kepada entah siapa yang akan mendengar maafnya. Maaf, sudah membiarkan Dira meninggal. Maaf, tidak bisa melakukan apa-apa. Maaf, tidak bisa menyelamatkan.

Nara, kamu nggak salah apa-apa.

Tapi Nara tidak mau hidup sia-sia.

Ia memaksa dirinya bangkit, membuka gorden jendelanya perlahan sambil menyipit, ketika sinar mentari perlahan mulai memenuhi kamarnya, menghangatkan. Ia tidak akan bisa menghilangkan perasaan bersalah, frustasi, dan kehampaan dalam dirinya. Tapi itu tidak akan menahan hidupnya. Nara berbalik, berjalan perlahan menuju pintu.

Pagi itu, surya akhirnya bersinar sepenuhnya di rumah keluarga Mahardika.


(Yha) (aneh)

Comments

Popular posts from this blog

Be The One - #4

“No I don’t.”  Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?" Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa. Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?" Lalu hening. "Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gant

Last

Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya. Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya. Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya. Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum. Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!