Skip to main content

Nisha - Irza #1

Nisha pertama melihat Irza di kelas.

Sosok laki-laki yang dengan tenang memasuki kelas, dimana yang lain masih terlihat bingung dan canggung terhadap perubahan dari SMA menuju dunia perkuliahan. Justru sebaliknya, seperti yang sudah bertahun-tahun berada disana, Irza melenggang masuk. Nisha melihat Irza dari kursinya di depan, mengawasi dari sudut mata sampai Irza berhenti di belakang, di pojok kelas, di dekat jendela. Lalu diam-diam ia mencuri pandang selama kuliah, mendapati Irza yang mulai mengobrol dan mendapat teman di belakang sana. Nisha iri. Nisha juga ingin berkenalan dengan Irza.

Irza pertama melihat Nisha di pengumpulan mahasiswa baru.

Saat itu ia terlambat, datang tergopoh-gopoh di belakang barisan. Sosok Nisha di depan mencuri perhatiannya. Masih ada ya, perempuan yang memakai tas Buzz Lightyear? Sepanjang briefing, Irza mencuri pandang ke arah Nisha di barisan depan. Gadis itu dengan cepat berkenalan dengan lingkungan sekitarnya, ikut mencuri perhatian beberapa senior laki-laki di depan. Irza iri. Irza juga ingin ada di samping Nisha, mengobrol dan bercanda dengannya.

Saat keduanya akhirnya berkenalan, Irza mencoba mendekat. Mengajaknya mengobrol. Membawanya ke tempat-tempat yang ia suka. Memperkenalkan Nisha pada lapis satu dunia Irza. Nisha sendiri tak keberatan. Sering ia memberi rekomendasi buku maupun lagu pada Irza. Suatu waktu membawa iPodnya, lalu memberi Irza separuh bagian earphonenya, setengah memaksanya untuk mendengar lagu-lagu favorit Nisha. Irza sendiri tidak pernah menolak, dan tidak pernah keberatan.

 Nisha dan Irza yang selalu bersama, lama-kelamaan menjadi terbiasa.

Namun di dalamnya, ada yang berbeda. Ada yang membuat semua seakan hanya lapisan tipis es di atas danau di musim dingin. Nisha dan Irza hanya mendekat. Menikmati keberadaan satu sama lain.

Irza tak pernah benar-benar bercerita pada Nisha. Rumahnya adalah medan perang. Tak pernah tidak diam. Terkadang suara teriakan yang terdengar, terkadang jerit tangis pilu, terkadang lagi suara-suara yang tak pernah ingin Irza dengar. Nisha tak tahu, Irza tak pernah pulang. Nisha sendiri tak pernah bertanya, setiap Irza muncul dengan raut lelah. Saat konsumsi rokok Irza bertambah. Saat Irza mendadak mengenggam tangannya erat. Atau saat Irza memanggilnya di luar kamar, hanya untuk memeluk gadis itu erat. Nisha tak tahu, ialah sumber kekuatan Irza. Yang kini menjadi alasan Irza untuk segera lulus dan mandiri. Agar bisa membawa gadis itu pergi bersamanya.

Nisha tak pernah bercerita pada Irza, malam-malamnya dipenuhi keringat dan tangis tiap ia terbangun dari mimpi buruk. Ketika memori dari masa lalunya kembali dalam bentuk mimpi. Sekelebat wajah orang-orang mengelililnginya, lalu Nisha terjatuh, melihat ketakutannya tercermin dalam bola mata seseorang yang semakin mendekat. Orang-orang yang tak pernah Nisha inginkan, dan hal-hal yang tak pernah Nisha inginkan. Irza pun tak pernah bertanya, saat Nisha meneleponnya di tengah malam. Kadang tak bicara. Hanya saling mendengar napas satu sama lain. Irza tidak tahu, saat ini ialah yang menjadi alasan Nisha membuang semua koleksi pisau dan siletnya. Alasan di balik bersihnya kulit tangan Nisha yang tadinya menolak pengobatan. Nisha ingin terlihat normal bagi Irza. Nisha ingin memulai awal baru dengan Irza.

Irza tak pernah menjelaskan apapun pada Nisha.

Nisha tak pernah bertanya tentang apapun kepada Irza.

Maka keduanya hanya berjalan bersama dengan waktu, terus melakukan hal-hal yang mereka inginkan, tanpa pernah tahu dan bertanya, kemana arah selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Be The One - #4

“No I don’t.”  Adrianna tertawa kecil mendengarnya, bergerak semakin mendekat ke sosok Dims di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi leher pemuda tersebut, tangannya secara otomatis bergerak melingkari pinggang (atau pinggul, mengingat perbedaan tinggi diantara mereka) Dims, memeluknya erat seperti yang dilakukan pemuda tersebut sejenak lalu, "No I don't..... what, hm?" Ia ingin seperti ini saja deh. Sampai besok, lusa, sampai minggu depan pun tak apa. Sayang kedamaian sejenaknya diganggu. Ia merasakan tangan Dims bergerak dari pinggangnya, ganti mencubit dan mengunyel pipinya. Ukh. Ia menggembungkan kedua pipi tersebut, bibirnya bergerak-gerak tidak suka, "Aku tahu kau tidak tidur," ucapnya, nyengir lebar. Cengiran yang segera digantikan oleh kerutan di bibirnya, penasaran akan kalimat yang diucapkan Dims padanya, "Akan....?" Lalu hening. "Akan apa, Atreiyu Mathivanan Dimitrovski Velasquez? Aku tidak terima kau gant

Last

Ia tak pernah memiliki begitu banyak pikiran terlintas dalam tempo setengah detik dalam kepalanya. Suara teriakan, bisikan lirih yang terdengar samar, serta rasa sakit yang serta-merta memenuhinya perlahan, menariknya dalam kegelapan. Tubuhnya perlahan jatuh tersungkur, berlumur darah kemerahan yang menyebar dengan cepat dari jantungnya, menutupi nyaris seluruh dadanya. Ironis. Ia merasa begitu hidup, begitu bersemangat, tepat pada detik-detik kematiannya. Dan ketika dirasanya dunia mulai menghilang, kesadarannya menipis dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan, ia tersenyum. Memorinya baru saja sampai pada dua sosok paling indah yang pernah ditemuinya. Acchannya, dan Ahime-samanya. Bagaimana ia menemukan keduanya memiliki aura yang begitu mirip, dengan senyum manis yang lebih sering dilengkungkan dengan rona jahil di hadapannya. Betapa ia ingin kembali berada di samping keduanya, merangkul keduanya, lalu diomeli karenanya. Betapa ia begitu ingin kembali melihat wajah mereka

Dorks #2

Anaknya ngerti. Alhamdu? Hush. Agama siapa itu coba Shin. Shin memperhatikan anak baru yang mengaku namanya Dima--s? Dimasu? Lafal asing yang seumur hidup tak pernah ia dengar maupun ucapkan. Ia mengangkat alis, mengulang nama si anak baru, "Dima--su? Sorry, couldn't really catch that," ucapnya seketika, otomatis pakai bahasa Inggris. Ya kalau pakai bahasa Jepang nanti si anak baru nggak ngerti dong ah. Shin pinter banget sih. Lalu apa katanya? Fans Shin banyak? Itu sih, nggak perlu ada yang kasih tahu pun sejak pertama ia menginjakkan kaki di sekolah itu, ia sudah tahu. Kenapa lagi coba mendadak banyak kakak kelas perempuan merubung di luar jendela kelasnya? "Some of them are yours, I think," ia nyengir lebar, mendekati si Dimasu yang kini berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola, "Wanna play?" Ayo kita suguhi cewek-cewek itu dengan fanservice!