Skip to main content

Posts

eight.

He knows this is it since they told him, 'you might not debut'. They told him he's wrong. They told him he's precious. They kept telling him that everything will be fine in the end, it will be 9, they will be 9 and they will debut together. Perform together. Just be together like they promised each other in the beginning of everything. They kept telling him to hold on, kept offering him help to get better. They trusted him, and here's the problem. They wanted to trust him. He's standing there, a small smile crept upon his face while looking at the mess around him. Somebody's hand slung around his shoulder, accompanied with a sob. He didn't see, but he was sure it was Jisung. The boy was always the one with too much emotion, with no fear of showing themselves, not holding back anything that he felt. Ah. Maybe that's what makes them different. What makes Jisung safe, still in the run to become the debut member after the end of the show. He w
Recent posts

なくなる

"Udah ngantuk?" "Udah." "Cupu lo." Bukannya marah, aku malah menatap lekat-lekat wajahmu yang tertawa — menertawakan aku yang sudah susah terus membuka mata. Tawamu reda, berganti jadi senyum lebar. Aku mengerjap, lalu kamu tergelak lagi. Kali ini tanganmu menjulur, hinggap di puncak kepalaku. Lantas aku memejamkan mata. Enak, hangat. "Bobo gih." "Nggak mau. Masih mau ngobrol." Kamu tertawa lagi. Mungkin karena suaraku sudah terdengar berat, dan mataku tidak kunjung kubuka. Sudah nyaman, apalagi tanganmu terus mengusap lembut kepalaku. Napasku sudah mulai berat. Yang tersisa cuma jeritan di kepalaku yang masih mau menghabiskan waktu denganmu. "Kan gue nggak kemana-mana. Lo tidur sekarang, nanti bangun juga gue masih ada." "Bohong." Aku membuka mataku. Menatapmu. Lekat, berusaha menangkap garis-garis siluetmu yang timbul-hilang. "Kalau aku tidur kamu justru ilang." Sensasi hangat di atas kepalaku menghilang.

'farewell. it won't be our last.'

hiruk-pikuk stasiun masih terdengar di sekitar mereka, berisi percakapan penuh janji-janji musim panas akan surat maupun kunjungan singkat. hampir semua terdengar bersemangat. optimis pada masa depan yang menjanjikan. beberapa yang lain, sayangnya, tidak seberuntung mereka. di balik gelak tawa dan teriakan girang, isak tangis terdengar di selanya. dari mereka yang tidak tahu kapan garis waktu masing-masing akan kembali bersisian. surat menjadi salah satu pilihan, namun bagi jiwa yang kehilangan, menurutmu cukup hanya melihat kata? sang pemuda turun dari kereta, menuntun gadisnya yang mengikuti di belakang. ia sama seperti mereka, menghadapi garis akhir yang akhirnya tiba. sepanjang perjalanan ia berusaha terus bersama. mengobrol, berpuas-puas menatap paras gadis yang nantinya tak lagi menjadi suatu keseharian. janji-janji, seperti lainnya, ikut ia lontarkan meskipun inginnya tak perlu ia lakukan. inginnya tetap ada, bersama seterusnya. mereka berjalan hingga keduanya menemukan suaka

end of summer

Oh, my summer boy, my sweet, sweet love, There will be no more winter for you. jejaknya terlihat di tumpukan salju putih di depan pondok, mengarah ke danau dengan kilau matahari yang terpantul pada permukaan beku. ia terus berjalan, melewati pohon besar, daunnya memutih tertutup salju, beberapa rantingnya rontok dan dahan-dahan kecilnya patah oleh angin kencang semalam. semalam, saat ia benar-benar ingin keluar dari pondoknya yang terkunci rapat. semua sudah selesai. hanya ia yang belum benar-benar bangun, nyanyian merdu sahabatnya masih mengalun di telinga. sweet summer boy. seperti yang selalu mereka ucap untuknya. selalu menunjuk senyum lebarnya, seperti musim panas tak pernah berakhir bagi mereka. sweet, sweet, love. lalu mereka tergelak bertiga, menertawakannya bersama. saling menimpali dan menebak siapa sosok paling tepat untuk dianugerahi sederet kata-kata manis barusan. siapa dan kapan. menurutnya, seharusnya ia sampaikan saja kata-kata tersebut untuk mereka. w

Kebangkitan

Udah ga ada. Nara diam menatap tembok kosong di kamarnya, melamunkan yang tidak ada. Udah ga ada, Nar. Kesayangan lo. Hilang tepat di depan mata lo, saat lo lagi berdua sama dia. Dan lo gabisa ngelakuin apa-apa. Karena lo nggak tau. Lo cuma bisa diem, kaget, panik setengah mati ketika Dira perlahan jatuh ke tanah, napasnya berat. Lo bahkan nggak cukup peka untuk menyadari tanda-tandanya. Dira yang kelelahan. Dira yang minta istirahat. Dira yang mulai sering berhenti untuk napas, megap-megap. Lo tunda terus buat menepi sejenak. Nanti. Nanti yang berujung tidak ada. Dan setelah semua kegagalan lo, keluarga Dira masih nggak menyalahkan lo. Bukan salah Nara, katanya. Nara tidak bisa apa-apa karena Nara tidak tahu. Karena Nara pada dasarnya hanyalah pemain baru dalam 17 tahun lakon hidup Dira. Nara tidak tahu apa-apa, dan tidak akan pernah tahu apa-apa kalau Dira tidak pingsan dan berujung meninggal. Dan bukan salah Nara juga untuk tidak tahu. Dira yang memilih Nara untuk tidak tahu.

Nisha - Irza #1

Nisha pertama melihat Irza di kelas. Sosok laki-laki yang dengan tenang memasuki kelas, dimana yang lain masih terlihat bingung dan canggung terhadap perubahan dari SMA menuju dunia perkuliahan. Justru sebaliknya, seperti yang sudah bertahun-tahun berada disana, Irza melenggang masuk. Nisha melihat Irza dari kursinya di depan, mengawasi dari sudut mata sampai Irza berhenti di belakang, di pojok kelas, di dekat jendela. Lalu diam-diam ia mencuri pandang selama kuliah, mendapati Irza yang mulai mengobrol dan mendapat teman di belakang sana. Nisha iri. Nisha juga ingin berkenalan dengan Irza. Irza pertama melihat Nisha di pengumpulan mahasiswa baru. Saat itu ia terlambat, datang tergopoh-gopoh di belakang barisan. Sosok Nisha di depan mencuri perhatiannya. Masih ada ya, perempuan yang memakai tas Buzz Lightyear? Sepanjang briefing, Irza mencuri pandang ke arah Nisha di barisan depan. Gadis itu dengan cepat berkenalan dengan lingkungan sekitarnya, ikut mencuri perhatian beberapa seni

Kala Senja, Surya Kelam

“Nar,” Dantya masuk, pasrah melihat kakaknya masih bercokol di satu bagian kamar yang sama. Masih di cerukan jendela kamar yang sama seperti yang ada di kamarnya. Masih dengan pakaian kemarin, dengan jatah sarapan yang belum tersentuh sama sekali, “Nar,” ia mendekat, menepuk pundak Nara. “Pergi lo.” “Nar…” “Pergi lo.” Dantya diam, tangannya ia tarik. Tepat dua minggu sudah lewat sejak sahabatnya Dira meninggal akibat penyakit jantung. Sahabat garis miring gadis yang kakak kembarnya cintai. Dantya masih ingat dengan jelas saat itu, ia di rumah tengah beristirahat tenang ketika telepon rumah berbunyi, Nara menelepon dengan suara kalut, sedang di rumah sakit menemani Dira yang mendadak kolaps saat ia lengah sedikit, tengah membelikan Dira minuman di Senopati. Dantya yang sudah bersiap menerima kabar seperti itu, segera menyusul kakaknya, dan memeluk yang bersangkutan. Ia masih ingat jelas, sosok Nara saat itu. Kalut, gemetar, lemas, pucat. Seperti yang lebih sakit